PERAN SAINS BAGI SEORANG AKTOR
PERAN SAINS BAGI SEORANG AKTOR
Oleh: Roci Marciano
I.
Teater
Dan Sains
Sebelum
membahas lebih jauh tentang seni dan sains, karena untuk membicarakan dua genre
keilmuan ini sangatlah luas pengertian dan maknanya, maka pada kesempatan ini
penulis akan membatasi pembahasan Seni pada suatu bidang yang sudah penulis
geluti sampai saat ini saja, yaitu seni Teater. Teater sendiri secara
pengertian juga cukup luas pemahamannya. Jika ditelusuri secara
etimologi memang diakui bahwa kata teater berasal dari bahasa Yunani lama
yakni Theatron yang secara harafiah, artinya gedung atau tempat pertunjukan. Namun kata Yunani Theatron tersebut diturunkan dari kata Theomai yang artinya “dengan takjub melihat atau memandang“. Sehingga teater secara lebih luas dapat diartikan
sebagai berikut. Satu, gedung pertunjukan atau tempat kegiatan seni dilakukan,
dua, “publik atau auditorium“ (tempat penonton menyaksikan pertunjukan), tiga,
“karangan/cerita yang mengisi kegiatan“ (Achmad, 1990: 4). Namun seiring
perkembangannya, seni teater mengalami banyak makna, di antaranya merupakan
salah satu cabang kesenian yang paling tepat untuk mengekspresikan kehidupan
masyarakat, serta paling tepat untuk menggambarkan kehidupan manusia (Iswantara,
2007: 199).
Ada juga yang mengatakan bahwa teater adalah istilah lain dari
drama, tetapi dalam arti yang lebih luas, yakni meliputi: proses pemilihan
naskah, penafsiran, penggarapan, penyajian/pementasan dan proses pemahaman atau
penikmatan dari pulik (Satoto, 2012: 6). Di
dalam teater juga terdapat peran-peran yang penting, karena teater adalah kerja
kolektif, yaitu adanya tim produksi dan
tim teknis penyajian (artistik), seperti, seorang Penulis naskah/lakon, ada Sutradara,
Skenografer, Aktor dll. Semua ini apabila dibahas tentu saja akan membutuhkan
waktu yang panjang dan melelahkan untuk menganalisisya satu persatu, oleh sebab
itu pembahasan dalam penulisan ini sengaja dipersempit lagi yakni tentang
seorang Aktor. Lebih tepatnya seni peran yang akan lebih fokus penulis teliti
dalam korelasinya dengan sains. Akhir-akhir ini sains mengalami perkembangan
yang sangat signifikan, oleh sebab itu, sebagai seorang aktor penulis kembali
mempertanyakan apakah penting seorang aktor belajar tentang sains? Atau
dimanakah sebenarnya peran sains bagi seorang aktor? Atau adakah manfaat
seorang aktor belajar tentang sains dan proses kerja seorang saintisme?
Begitu juga dengan
sains, tentu saja penulis tidak punya daya dan upaya untuk menganalisis secara
mendalam sampai pada cabang-cabang ilmu yang ada di dalam sains. Oleh sebab itu
dalam kesempatan ini, penulis akan membahas Sains hanya sebagai sains, dan
pengertiannya secara umum berdasarkan sumber buku, majalah, dan internet, serta
mencoba menyimpulkan berdasarkan pemamahan penulis. Kesimpulan di dapat, tentu
setelah melakukan pembacaan terhadap sains yang selama ini belum pernah
dipelajari secara mendalam. Namun penulis mengakui bahwa saat sekarang ini,
Sains menjadi garda depan dalam ranah keilmuan, sebab di dalam sains penulis
melihat perkawinan antara ilmu pengetahuan dan seni. Sehingga harapan dari
penelitian ini, penulis sebagai seorang aktor tidak ketinggalan dalam
perkembangan zaman, dan tidak menutup diri terhadap kemajuan ilmu pengetahuan
dan seni, sebab sampai saat ini penulis mengakui bahwa, seorang aktor adalah
murid bagi alam dan ilmu pengetahuan itu sendiri. Secara tidak langsung bahwa
seorang seniman tidak bisa lepas dari ketergantungan terhadap alam dan ilmu
pengetahuan.
Setelah
merenungkan hasil pembacaan antara seni dan sains, maka sebagai dua cabang ilmu
antara seni dan sains, sebenarnya memiliki kesamaan untuk satu tujuan yaitu,
bertujuan sebagai “PENGETAHUAN BAGI MANUSIA”, meskipun di dalam seni teater,
pengetahuan tersebut di sandikan dalam bentuk hiburan. Dinamakan oleh P.K.G.
Mangkunegaran VII dengan Sandiwara. Oleh Ki Hadjar Dewantara diartikan
pengajaran yang dilakukan dengan perlambang (Sandi=Rahasia, Warah=Pengajaran)
(Harymawan, 1993: 2). Namun berbeda pada sains, sebagai hasil dari
eksplorasi yang telah dilakukan dalam suatu penelitian, maka temuan dari sains
tidak disampaikan dengan sandi, melainkan disampaikan melalui data yang
kongkrit. Hal inilah yang kemudian yang membedakan antara seni
teater dengan sains, dan ini pula yang menjadi pemantik awal bagi penulis untuk
terus melakukan penelitian tentang peran sains dalam seni teater dan apakah
sains penting untuk teater, terutama bagi seorang aktor yang bertumbuh bersama
alam yang terus tumbuh, wawasan ini tentu saja untuk memperkaya pengalaman
batin dan fikir sebagai seorang aktor. Sebab seiring perkembangan zaman, seorang
aktor tentu saja akan dituntut untuk cerdas, bukan hanya cerdas secara
emosional dan spiritual, melainkan juga harus cerdas secara intelektual.
Bila dicermati lebih
jeli dan teliti, serta membaca sejarah perkembangan antara seni dan sains, maka
sesungguhnya, Seni dan sains adalah dua cabang ilmu yang sejak zaman dahulu
sampai sekarang mengalami perkembangan yang signifikan. Penulis meyakini bahwa
sesungguhnya kelahiran antara seni dan sains seiring sejalan dengan pertumbuhan
manusia dan perkembangan peradaban di dalam kehidupan manusia itu sendiri.
Sebab kemajuan peradaban pengetahuan manusia, dan hasil daya cipta, karsa dan
karya manusia, menjadi penentu semangat zaman dan kebudayaan yang terus
berlangsung di dalam kehidupan manusia, seperti maju atau tidaknya pola fikir
manusia, akan menentukan maju atau tidaknya penemuan-penemuan pengetahuan dan
karya yang diciptakan oleh manusia, baik itu dari sisi seni maupun sains yang
disesuaikan dengan kebutuhan zaman, tentu saja memiliki peran dan fungsi yang
berbeda-beda sesuai peradaban manusia.
Jika
muncul pertanyaan manakah yang lebih dulu lahir di muka bumi ini antara seni
dan sains? Tentu saja akan menimbulkan perdebatan yang tidak pernah kunjung
usai. Oleh sebab itu, penulis mengambil jalan tengah dan mencoba memaknai
pertumbuhan antara seni dan sains. Tentu saja bukan mana lebih dulu yang paling
penting untuk diperdebatkan, melainkan benarkah seni dan sains saling terkait
satu sama lain? Dalam hal ini penulis meyakini bahwa, antara seni dan sains saling
beriringan dengan pertumbuhan peradaban, dan kemudian saling memberi pengaruh
terhadap kebudayaan.
Penulis
juga meyakini bahwa Seni dan sains
muncul dan tumbuh di dalam setiap diri manusia-manusia kreatif dan manusia yang
mau mengolah akal dan fikirannya untuk “menemukan” dan “menciptakan”, karena
seni dan sains adalah anugerah alami yang telah diberikan oleh Tuhan kepada
manusia sebagai makhluk yang berfikir. Tergantung kepada manusia itu sendiri,
apakah sanggup mengolah pengetahuannya atau tidak untuk dijadikan sebagai
kelebihan, baik itu untuk menemukan rahasia alam, maupun untuk menciptakan
berdasarkan sumber alam, dan menyadari bahwa segala yang datang dari alam akan
kembali kepada alam.
Penulis memaknai bahwa seni dan sains bagai
dua sisi dalam satu mata uang koin yang tidak terpisahkan, baik itu dalam
pengaplikasiannya, maupun tugas dan tujuannya. Seni dan sains saling melengkapi
satu sama lain, sehingga wajar apabila sampai sekarang terjadi kemajuan dan
perkembangan di bidang pengetahuan manusia. Hal ini tidak terlepas dari
penemuan-penemuan para seniman yang terus melakukan eksplorasi dan saintis
(ilmuwan) yang mewariskan penemuannya sampai saat ini. Seperti penemuan Wilson
(seorang saintis) yang mengeksplorasi keterkaitan antara evolusi biologis dan
budaya manusia yang diberi nama Biologi-sosial. Ia memperlihatkan bahwa
prinsip-prinsip Darwin, genetika, dan biokimia modern secara paripurna menjelaskan
tidak hanya pada tataran kebiasaan kemanusiaan, tetapi juga menjelaskan mengapa
spesies mansuia begitu religius (Haught, 2004: 127).
Berdasarkan kutipan di atas maka menjadi jelas
bahwa seorang ilmuwan (saintis) dan seniman itu memiliki kesamaan dalam melakukan pekerjaan yaitu sama-sama meneliti
segala yang ada di dalam alam semesta, karena sesungguhnya sains itu ialah merupakan
cara yang sederhana, terpercaya dan subur untuk mempelajari beberapa hal
penting tentang alam semesta (Haught, 2004: 14). Manusia juga bagian dari alam
semesta, maka manusia termasuk dalam pembahasan sains. Begitu juga dengan seni,
yang tidak terlepas dari mengkaji dan
menjadikan alam semesta sebagai sumber kajian dan inspirasi dalam penciptaan
karyanya, karena seorang seniman juga dituntut untuk jenius mengetahui alam
semesta dan segala penghuninya. Sebenarnya bagaimana sosok seorang seniman yang
sekaligus sosok saintis? Apakah dia masih ada di dunia ini? Atau memang ketiadaannya
yang membuat ia selalu ada? Dalam hal ini penulis mencoba mencari perbandingan
siapakah sebenarnya seorang seniman yang sekaligus seorang saintis? Dan apa
sebenarnya kunci seorang seniman dan seorang saintis? Bagi penulis hal ini
penting diketahui oleh seorang aktor sebagai bekal kekayaan pengetahuan.
Kehidupan memiliki setiap zaman, dan setiap
zaman memiliki suatu peradaban yang berbeda dari zaman sebelumnya, karena
setiap manusia yang tumbuh di dalam suatu zaman akan menciptakan sesuatu
berdasar keinginannya masing-masing. Bila melacak seorang Seniman yang
sekaligus saintis tentu saja tidak banyak di dunia ini, jikapun ia ada, penulis
yakin keberadaannya secara fisik telah tiada, namun ilmu dan karya yang telah
diwariskannya masih bisa dirasakan oleh umat manusia sampai saat ini, dialah
salah satunya Leonardo Da Vinci (1452-1519); yang selalu membebaskan fikirannya
untuk mencari sesuatu yang ingin diketahuinya seperti yang diungkapkannya;
apabila kita berminat pada pemikiran bebas dan membebaskan pikiran kita dari
kebiasaan-kebiasaan dan praanggapan-praanggapan yang membatasi, maka kita
berada pada jalur menuju prinsip Dimostrazione
katanya (Da Vinci).
Dalam upayanya mencari kebenaran, Da Vinci
selalu mempertanyakan kebijaksanaan konvensional. Ia menggunakan kata dimostrazione untuk mengungkapkan
pentingnya belajar sendiri, melalui pengalaman praktis (Gelb, 2002: 10). Kutipan
ini semoga bisa menjadi bekal bagi seorang calon aktor, bahwa pertama,
pentingnya membebaskan fikiran dari praanggapan yang membatasi, kedua,
mempertanyakan kebijakan konvensional, ketiga, pentingnya belajar sendiri
melalui pengalama praktis. Dunia tentu saja sudah tidak asing dengan nama
Leonardo Da Vinci, karena dialah contoh sosok seorang seniman dan sekaligus saintis,
sebagai seorang aktor yang berperan di dalam panggung kehidupan, tentu saja Da
Vinci telah berhasil memainkan perannya. Jika membaca hasil penemuannya, maka
penemuan dan karya Leonardo Da Vinci layak untuk diapresiasi, dipelajari dan
dijadikan spirit untuk mencipta dan menemukan segala sesuatu yang menjadi
keresahan manusia. Penulis juga menyadari bahwa jika seni dan sains bersatu di
dalam diri manusia, akan memberikan dampak yang luar biasa didalam ilmu
pengetahuan dan seni, karena buah dari perkawinan antra seni dan sains
tersebut, akan banyak melahirkan inovasi dan kreasi baik itu dalam karya,
maupun dalam penemuan-penemuan tentang hal-hal yang berkaitan dengan alam dan
ilmu pengetahuan, sehingga dalam menciptakan suatu karya, harapannya tujuan dan
manfaatnya bisa dirasakan oleh manusia.
Sebagai salah satu hasil eksplorasi Da Vinci yang
bisa dirasakan saat ini ialah, terdapat dalam bidang ilmu kedokteran, terutama
tentang anatomi, begitu juga tentang berbagai karyanya yang menakjubkan
lainnya, baik dari lukisan, maupun rancangan alat perang dan keinginan untuk
terbang yang sudah ia fikirkan. Seiring perkembangan zaman, pada saat ini,
banyak ilmu seni dan sains yang ia tinggalkan untuk dikembangkan oleh generasi
selanjutnya. Bukan hanya bidang kedokteran yang merasakan dampak temuannya,
melainkan di dalam seni teater juga bisa belajar dari hasil temuan Leonardo Da
Vinci ini. Apa sesungguhnya yang menjadi kekuatan Da Vinci yang perlu diketahui
oleh insan kreatif? Yaitu; Hasrat kuat Leonardo untuk memahami hakikat
benda-benda yang membuatnya mengembangkan gaya penyelidikan yang layak dipuji,
baik karena kedalaman kajiannya, maupun karena kisaran topiknya. Kenneth Clark,
yang menyebut Leonardo “tidak salah lagi adalah orang yang paling ingin tahu
sepanjang zaman” (Gelb, 2002: 55). “Hasrat ingin tahulah yang menjadi kunci”.
Lantas
siapakah manusia jenius itu saat sekarang ini? Seorang seniman yang sekaligus saintis
seperti Leonardo Da Vinci?? Tentu saja sudah banyak, seperti penemu-penemu
dalam ilmu biologi, geografi, fisika, kecanggihan teknologi saat sekarang ini,
hal ini didasari karena jika di dalam jiwa seorang seni dan sains bersatu, maka
akan melahirkan keindahan yang baru, dan menjadi pengetahuan yang sejati.
Apakah di dalam teater juga ada yang namanya abadi seperti Leonardo Da Vinci?
Dimana karyanya menjadi inspirasi dan motivasi bagi kreator selanjutnya? Dan
apakah karyanya juga sama seperti temuan sains?
Di
dalam ranah teater dan dunia keaktoran, tentu saja ada namanya yang dikenang
sepanjang masa seperti Leonardo Da Vinci yaitu, Wiliam Shakespeare (1564-1616).
Banyak karyanya yang menginspirasi, dan bahkan masih dipentaskan sampai saat
ini. Namun dia lebih dikenal bukan sebagai seorang saintis, melainkan sebagai
seorang seniman teater, baik itu sebagai sutradara pemimpin pertunjukan,
penulis naskah dan juga seorang aktor. Drama Shakespeare menawarkan pemahaman
yang mendalam terhadap pertanyaan-pertanyaan tentang apa artinya untuk hidup?
Bagaimana cara manusia hidup? Dan Apa
yang harus dilakukan? Inilah sebabnya mengapa karya Shakespeare banyak
menginspirasi para pemikir, filosofer, politikus dan ahli literatur, baik itu
untuk mempelajari karyanya, maupun mengutip kalimat-kalimatnya. Bahkan
mempelajari karya Shakespeare sama seperti mempelajari kehidupan dari berbagai
sudut pandang, seperti psikologis, politis, filosofis, sosial, spiritual.
Seperti kalimatnya yang merangsang daya kritis untuk lebih percaya jika telah
mengalami;
Mengapa
kita pilih diberat beban, menggerutu dan mandi peluh oleh himpitan hidup
menekan, dan menanggung saja segalanya, semata takutkan apa yang kan terjadi
sesudah mati, namun kebenarannya belum lagi teruji, sebab tiada satu yang
pernah kembali? (Shakespeare, 2016: 101).
Berdasarkan dari kutipan kalimat Shakespeare
di atas, maka jelas bahwa banyak karya Shakespeare mengarah pada pengetahuan
untuk manusia yang mau membaca. Kalimat Shakespeare juga menegaskan bahwa setiap
kebenaran penting untuk diujikan. Kalimat Shakespeare di atas baru pengggalan
kecil, tentu saja masih banyak kalimatnya yang mampu memberikan inspirasi bagi
pembaca untuk menumbuhkan daya kritis. Penulis sengaja mengambil contoh kutipan
di atas karena memiliki korelasi dengan pembahasan yang penulis teliti yaitu
seni dan sains. Bila dicermati dengan teliti, tentu saja kalimat tersebut juga
berlaku buat para saintis, yang perlu melakukan penelitian untuk membuktikan
setiap kebenaran. Dan sampai disini penulis juga kembali memberikan pertanyaan
elementer berdasarkan dari pemaparan di atas kepada diri penulis, benarkah
penting sains bagi seorang aktor?
Untuk
menjawab pertanyaan di atas, tentu saja tidak bisa penulis putuskan dengan kata
“penting” tanpa menjelaskan alasan atau menganalisis dua keilmuan ini sebagai
suatu pengetahuan yang penting. Karena dari pemaparan yang dijelaskan, akan
ditarik benang merah, bahwa pentingnya belajar sains bukan hanya sebagai
pengetahuan, tapi banyak alasan yang bisa diambil sebagai modal dalam
peningkatan intelejensi seorang aktor, baik itu untuk kepentingan berperan,
maupun sebagai modal intelektual aktor itu sendiri sebagai publik figur yang
disaksikan oleh banyak orang. Seorang aktor juga perlu memahami sains bukan
hanya dari sisi baiknya saja, karena sebagai manusia cerdas, seorang aktor juga
harus bisa melihat sisi negatifnya. Sebab bila dilihat dari kedua sisi, baik
itu seni dan sains memang, mengalami kemajuan dan perkembangan yang signifikan
dan juga mengalami permasalahan-permasalahan yang kompleks.
Tidak
bisa dipungkiri bahwa sains adalah suatu pegetahuan, dan manusia yang bekerja
di dalam dunia sains sudah pasti berhasrat menciptakan suatu penemuan, tidak
menutup kemungkinan saintis juga menciptakan suatu kesalahan. Kompleksitas yang
terjadi antara sains dan seni, seiring perkembangan zaman memang tidak bisa
ditolak, karena manusia akan menjadi sumber konflik utama dalam penggunaan seni
maupun sains yang ada di bumi ini.
Karena
bila mengikuti perkembangan informasi, secara kontekstual bahwa seni dan sains
saat ini, ada yang digunakan oleh segolongan oknum-oknum yang mengutamakan
kepentingan-kepentingan untuk meraih keuntungan sepihak. Sehingga wajar apabila
yang dimunculkan oleh seni dan sains tentu tidak selamanya baik untuk kehidupan,
namun apakah seni dan sains yang menjadi masalah? Tentu saja tidak, sebab hal
ini dilatar belakangi oleh ego manusianya yang terlalu fanatik bahwa ia merasa
dunia hanya untuk mereka yang berfikir saja, tanpa memperhitungkan keberadaan
orang lain disekitarnya, seperti contoh, terjadinya Rekayasa genetik yang
menjadi berbahaya, terutama karena merupakan aliansi antara dua kekuatan: ilmu
dan perdagangan. Alianssi ini belum pernah terjadi sebelumnya, yang dapat
memperbaikai dunia atau menghancurkannya (Wan Ho, 2008: 10).
Bila
mengamati persoalan di atas, maka kembali muncul pertanyaan, jika seorang aktor
mendapatkan peran memainkan tokoh seorang Profesor yang melakukan rekayasa
genetik, yang juga akan menginspirasi orang banyak untuk melakukan rekayasa-rekayasa
yang lain? Lantas bagaimana sikap seorang aktor bila menghadapi situasi seperti
ini? Meskipun dalam lakon tersebut akan ada solusi positif dan negatif yang
akan menjadi contoh untuk penonton. Tapi
yang menjadi pertanyaan ialah, jika seorang aktor benar-benar memberi sugesti
atas peran yang dilakukannya dan mempengaruhi orang lain, bagaimana? Apakah
yang mencontoh yang disalahkan? Atau si aktor yang terlalu menjiwai yang
disalahkan?
Disatu
sisi, disinilah letak kreativitas seorang aktor yang menghasilkan seni peran
sebagai keindahan, karena mampu mempengaruhi manusia lewat laku dan tindakan,
sehingga sebagai manusia yang menciptakan karya, seniman tersebut mendapatkan
kepuasan batin, karena dengan melahirkan karya akting yang berpengaruh, ia bisa
berbagi rasa dan pengetahuan kepada masyarakat atau pengamat dan penikmat seni.
Persoalannya adalah, bahwa apa yang dilakukan oleh seorang aktor tersebut dalam
aksinya akan menjadi pemebelajaran bagi penontonnya, sehingga tidak menutup
kemungkinan apabila ada oknum yang terinspirasi untuk melakukan tindakan
seperti yang telah dilakukan oleh seorang aktor tersebut. Tetapi aktor yang
bisa memberi sugesti terhadap penonton adalah aktor yang melakukan penelitian
yang lebih dalam pada peran yang ia mainkan, untuk menggapai peran yang bisa
menghipnotis penonton, salah satu strategi yang bisa dilakukan seorang aktor
ialah, menggunakan pola kerja seorang saintis. Karena tidak menutup
kemungkinan, sampai saat ini banyak aktor teater dan film yang telah mempengaruhi
fikiran manusia, dan penyebar utama virus akal budi itu ialah berkat kerja cerdas
seorang aktor.
Pertanyaan-pertanyaan
yang penulis lontarkan di atas, belum bisa penulis temukan jawabannya, sebab
efek yang dihasilkan oleh seorang aktor pada penonton adalah dampak yang juga
perlu disikapi lebih bijak. Karena banyak terjadi tindak diskriminasi yang
dihasilkan dari tindakan seorang aktor ketika ia berperan. Pada kesempatan ini
penulis lebih menekankan bahwa apakah ada kesamaan kerja seorang aktor dengan
seorang saintis? Apakah perlu seorang aktor juga bekerja seperti seorang saintis?
Karena dalam pemaparan di atas penulis menyinggung bahwa kerja seorang aktor
yang baik hendaklah juga sama seperti kerjanya seorang saintis. Untuk
sementara, penulis meyakini bahwa kerja seorang aktor dalam pencarian peran yang
ideal, tentu saja sama dengan kerja seorang saintis dalam menemukan sesuatu,
sehingga hal tersebut memberi pengaruh dan pengetahuan bagi manusia.
Sebelumnya
penulis ingin menilai, bahwa bila dilihat dari sudut pandang seni aktor, maka
apa yang dilakukan oleh para saintis juga bagian dari karya seni, karena ada
karya, karsa dan cipta di dalamnya, terutama dalam bentuk benda yang hidup,
sebab karya tidak hanya benda, melainkan kata yang terangkai dalam kalimat
sebagai pengetahuan juga menjadi karya. Pada kesempatan ini penulis juga
melontarkan pertanyanyaan, lantas bagaimana dengan sains, apakah dari sudut
pandang sains juga bisa melihat kerja seni aktor sebagai bagian dari kerja
sains? Penulis mengakui mungkin sangat sulit bagi seorang saintis mengakui
bahwa kerja seorang aktor bagian dari kerja seorang saintis. Sebab profesi dari
masing-masing cabang kerja ini telah dikotakkan dalam sistem dan prosedural,
namun pertanyaannya bagaimana jika seorang aktor benar-benar mengeksplorasi
perannya sebagai seorang saintis dengan melakukan pelacakan-pelacakan demi
kebutuhan peran yang akan dimainkan?
Dalam
tulisan ini penulis memposisikan diri baik itu sebagai seorang peneliti maupun
menjadi seorang aktor yang ingin mengetahui sains lebih dalam. Oleh sebab itu
pelacakan lebih lanjut akan dilakukan, terutama dalam mencari sejarah perbedaan,
baik itu antara sains dan seni. Tujuan dari penelitian ini ialah, mencari
korelasi apakah peran sains memang dibutuhkan dalam dunia teater? Apakah seni
memiliki sinergi dengan sains? Dimanakah sebenarnya letak perbedaan antara
sains dan seni? Antara sains dan teater? Pentingkah cara kerja seorang saintis
(saintis) digunakan seorang aktor dalam melakukan pelacakan setiap peran yang
akan ia mainkan? Adakah kesamaan dalam rangka penelitian, eksplorasi dan
eksekusi sebagai bagian dari kesimpulan? Untuk mencari perbedaan yang
signifikan antara seni dan sains pada bab selanjutnya penulis melacak terlebih
dahulu perbedaan, arti, makna seni dan sains. Meskipun penulis mengakui, bahwa
terlalu banyak pertanyaan dalam sedikit waktu yang terluang, penulis hanya
berharap bisa menjawab segala pertanyaan yang terlontar, jikapun tidak terjawab
maka pertanyaan tersebut akan menjadi sumbu kreatif bagi penulis untuk
menemukan jawaban-jawaban baru.
II.
Perbedaan,
Arti, Makna Seni dan Sains.
Sebagai
langkah awal, penulis ingin membahas sains terlebih dahulu. Secara etimologi
sains berasal dari bahasa latin yaitu, “scientia”
yang artinya “pengetahuan”[1].
Jika didefinisikan maka, sains adalah suatu cara untuk mempelajari berbagai
macam aspek tanda-tanda dari alam yang secara terorganisir, sistematis dan
melalui berbagai macam metode saintifik yang sudah dibakukan. Sains sebagai
ranah dasar dari perhitungan kuantitatif alam semesta berdimensi ruang dan
waktu dan akan terus berlanjut seperti itu. Jika teater adalah ibu dari
kesenian, karena di dalam teater semua unsur seni bersatu dalam kerja kolektif,
maka matematika adalah bahasa dan ibu dari sains (Smith, 2001: 155).
Ruang
lingkup sains dibatasi dari berbagai hal yang dapat dipahami oleh panca indera
(penglihatan, sentuhan, pendengaran, rabaan dan pengecapan) sebab sains adalah
pengetahuan yang diperoleh berdasarakan pembelajaran dan pembuktian. Korelasi
antara sains dan teater berdasarkan dari pemaparan ini terdapat pada teater
realis. Sebab dalam teater realis segala pertunjukan yang tersaji hendaklah
dapat dipahami berdasarkan panca indra (dapat dilihat, dapat disentuh,
pendengaran, perabaan dan pengecepan).
Tidak
satupun realitas yang tidak bisa diungkap oleh sains, jika sains tidak mampu
mengungkap, berarti realitas tersebut tidak eksis (Smith, 2001: 145). Begitu
juga dalam teater realis, segala yang tersaji di dalam teater realis, ialah
realitas yang eksis yang sengaja ditulis, dipentaskan dan disaksikan oleh
penonton, hingga kemudian eksistensi realitas tersebut sebagai teater realis,
hidup di dalam diri penonton dan pelaku teater itu sendiri. Kutipan di atas menegaskan
bahwa segala yang ada di alam dan kehidupan ini adalah bagian dari objek sains
yang akan diungkap dan diteliti.
Berdasarkan
temuan para ahli, bila diklasifikasikan, tentu sains terbagi dalam banyak
kategori, pada kesempatan ini penulis sepakat dengan pengklasifikasian yang
dilakukan oleh Al-Farabi, meskipun awal mulanya diklasifikasikan oleh Al-Kindi
pada abad ke-3 H/ke-9 M yang kemudian dilanjutkan oleh yang lain (Nasr, 1986:
42). Secara umum klasisfikasi sains secara rinci menurut Al-Farabi yang juga
dikenal di Barat sebagai De Scientiis ialah:
1).
Ilmu bahasa, 2). Logika, 3). Sains persiapan yaitu: Aritmatika, Geometri,
Optika, Sains tentang langit, musik, ilmu tentang timbangan, ilmu membuat
alat-alat (pembuatan mesin-mesin dan instrumen-instrumen sederhana untuk
digunakan dalam berbagai seni dan sains, seperti astronomi dan musik). 4).
Fisika dan Metafisika, 5). Ilmu kemasyarakatan (Nasr, 1986: 43-44).
Klasifikasi
tentang sains yang telah di rumuskan oleh Al-Farabi di atas jelas menyatakan bahwa
untuk mendapatkan suatu pengetahuan tertentu, baik itu tentang alam beserta
isinya, maupun segala sesuatu yang inign dijadikan sebagai objek penelitian,
tentu saja membutuhkan langkah-langkah seperti observasi, hipotesis, prediksi,
penelitian dan kesimpulan, kemudian si peneliti memutuskan keberadaan objek
penelitian tersebut. Dalam teater, langkah kerja yang di lakukan oleh sains
juga seharusnya dilakukan oleh seorang seniman, agar mendapatkan karya yang
maksimal. Sains juga merupakan proses kumpulan pengetahuan, serta cara-cara
untuk mendapatkan dan mempergunakan pengetahuan. Di dalam seni, Teater yang juga
disebut sebagai ibunya kesenian, merupakan kumpulan pengetahuan seni, sebab
hampir semua unsur yang terdapat di dalam seni ada di dalam teater, seni rupa, media rekam, maupun seni pertunjukan,
sebab teater adalah kerja kolektif.
Sains adalah produk dan proses yang tidak bisa
dipisahkan satu sama lain. Apa yang
diperlihatkan oleh sains, seperti penelitian-penelitian yang dilakukan fisika
adalah, bahwa pandangan-pandangan kita tentang segala sesuatu ternyata tidak
berpengaruh apa-apa terhadap hakikat kebenaran, yang terjadi malah keheranan-keheranan
manusia. Keheranan-keheranan ini tentu memiliki tingkatan dan keheranan sains
mesti melibatkan ukuran dan angka-angka (Smith, 2001: 155). Hal ini juga
terdapat dalam teater konvensional seperti teater realis, yang pengerjaannya
melibatkan ukuran dan angka-angka, matematis dan segalanya mengalami
perhitungan-perhitungan, meskipun pola latihannya dimulai dengan improvisasi.
Tetapi improvisasi tersebut dikumpulkan dan diakumulasi menjadi teknis yang
terus dilatihkan hingga tampak seperti dimainkan dengan improvisasi, melainkan
pada saat pementasan bukanlah improvisasi. Sebab improvisasi hanya berlaku
sebagai bahan latihan, meskipun improvisasi itu sangat dibutuhkan sebagai modal
seorang aktor, karena improvisasi itulah sebagai tanda manusia di alam
kehidupan, begitu juga sebagai tanda seorang aktor yang hidup memerankan alam
kehidupan tokohnya.
Berdasarkan
dari penjelasan di atas, maka sains adalah langkah-langkah yang digunakan oleh
para ilmuwan untuk melakukan penelitian dalam mencari pengetahuan tentang
gejala alam dengan cara, merumuskan permasalahan, merumuskan hipotesis,
melakukan eksperimen, mengumpulkan data-data, serta menganalisis dan menyimpulkan
gejala alam. Penelitian secara kualitatif dan kuantitatif juga termasuk sebagai
metode penelitian sains, karena yang menarik untuk dibicarakan adalah perubahan
kualitatif yang terjadi pada dimensi epistemologi sains, yakni proses-proses
mengetahui yang ada di dalam sains itu sendiri (Smith, 2001: 156).
Klasifikasi
Al-Farabi tentang sains juga memasukkan seni di dalamnya, akan tetapi seni yang
dikategorikan ialah yang sifatnya matematis, Al-Farabi menjelaskan, bahwa sains
juga digunakan untuk penemuan alat-alat seni. Pada dasarnya seni dan sain itu
akan memililiki stabilitas dan “kristalisasi” berdasarkan kekekalan dasar-dasar
sumbernya; stabilitas inilah yang diartikan oleh Barat sekarang sebagai
stagnasi dan sterilitas (Nasr, 1986: 1).
Mengamati
lebih seksama, tampak bahwa seni dan sains tidak mengalami perbedaan yang
signifikan, karena pada dasarnya, seni itu sendiri bekerja secara matematis,
perspektif, harmonis dan dinamis, meskipun ada yang berbentuk improvisasi namun
tidak terlepas dari perhitungan-perhitungan. Cara kerja yang dilakukan oleh
seniman terutama seorang aktor dalam seni, juga tidak jauh berebeda dengan
ilmuwan sains, tetap menggunakan observasi, melakukan hipotesisi, eksperimen,
mengumpulkan data dan membuat kesimpulan dalam bentuk hasil karya, cipta, karya
dan karsa. Hal ini tentu saja telah diketahui semua pihak, akan tetapi yang
menjadi pertanyaan bagi penulis, pentingkah sains dipelajari oleh seniman, dan
begitu juga sebaliknya, sehingga dari dua cabang ilmu ini akan ditemukan apakah
didalam sains ada seni atau justru sebaliknya di dalam seni ada sains, atau
malah sains dan seni tidak saling melengkapi satu sama lain? Pertanyaan ini mucul
untuk menganalisis lebih dalam tentang seni dan sains, sebab penulis sudah
mendekati dalam penemuan titik cerah antara seni dan sains. Sebelum menjawab
pertanyaan di atas, perlu rasanya penulis menganalisi terlebih dahulu tentang
seni itu sendiri.
Seni jika diartikan secara etimologis ada yang
mengatakan bahwa seni adalah “sani”
dalam bahasa sanskerta yang berarti pemujaan, pelayanan, donasi, permintaan
atau pencarian dengan hormat dan jujur. Tetapi ada pula istilah yang mengatakan
bahwa seni diambil dari istilah Bahasa Belanda yaitu “genie” atau jenius. Kedua asal kata itu memberikan gambaran yang
jelas tentang aktivitas apa yang sekarang ini dibawakan oleh istilah tersebut,
yaitu suatu pemujaan atau dedikasi, pelayanan ataupun donasi yang dilaksanakan
dengan hormat dan jujur yang untuk melakukannya diperlukan bakat dan
kejeniusan. Namun jauh sebelum istilah yang sudah dipaparkan di atas, dalam (sejarah melayu) istilah seni berbeda arti lagi, seperti yang
terdapat dalam kalimat melayu yaitu, jarum yang seni-seni adalah jarum yang
kecil-kecil, sehingga dalam bahasa melayu berarti seni ialah “kecil” (Soedarso
Sp, 2006: 6).
Penulis
yakin, siapa saja yang membaca kutipan di atas akan memiliki tafsir tersendiri
dalam memaknai kata seni meskipun pada akhirnya maksud dan tujuannya sama. Penulis
juga menyetujui semua istilah tentang seni yang terdapat dalam kutipan di atas,
baik itu secara arti, makna dan filosofinya, karena memang pada kenyataannya
seorang seniman adalah makhluk yang jenius. Kesenian adalah segala apa yang
mengandung sifat keindahan yang dibuat oleh manusia. Sebagai buah budi manusia,
maka selalu terkandunglah dalam kesenian itu sifat “keluhuran” pula, namun yang
tampak istimewa ialah sifat keindahan (Dewantara, 2011: 63). Dalam hal ini
tampak ada korelasi antara seniman dan saintis yakni, jenius, sebab seorang
saintis tentulah seorang manusia jenius.
Hal
yang paling membuat penulis merasa beruntung lagi ialah, ketika memahami bahwa
ternyata arti seni itu, berdasarkan dari bahasa Indonesia adalah “kecil”
(halus). Dalam hal ini penulis mencoba berfilosofi bahwa terkadang dalam
kehidupan ini sesuatu yang kecil mampu menciptakan yang besar, sehingga karena
ada yang kecillah maka yang besar itu tampak, bahkan sesuatu yang kecil atau
haluslah yang tidak terukur. Kecil dalam pengertian seni bukan berarti
tersurat, melainkan penulis memahaminya secara tersirat. Dalam konteks ini
penulis menemukan perbedaan antara seni dan sains, sebab pemahaman tentang seni
yang berarti kecil adalah suatu spirit sang seniman memahami kehidupan adalah
suatu yang besar, dan sudah jelas kehidupan diciptakan oleh sang Maha besar.
Kesadaran arti kecil ini pula yang memunculkan kehalusan budi pekerti. Pantaslah
jika belajar kesenian adalah bagian dari pelajaran memperhalus budi pekerti.
Bukankah
seharusnya pada sains berefek sama, ketika dalam melakukan penelitian terhadap
alam dan gejala yang mengiringinya, para saintis seharusnya menemukan bahwa
alam juga diciptakan oleh sesuatu yang Maha Besar. Lantas bagaimana dengan
pemikiran para saintis yang berbeda dengan para seniman dalam menyikapi alam?
Bahkan ada saintis yang percaya bahwa alam tercipta berdasarkan dari ledakan
besar seperti Big Bang. Kemudian muncul lagi pertanyaan di dalam diri penulis.
Benarkah alam menjadi sumber pengetahuan bagi saintis? Atau malah justru alam
sebagai wadah eksplorasi untuk menentukan, menguji dan membandingkan rumus dan
teori para saintis?
Teori
Big Bang tentu saja belum masuk akal di dalam diri penulis, sebab kultur yang
membesarkan dan pengetahuan sejak kecil tertanam di dalam diri penulis bahwa
alam telah diciptakan oleh Allah SWT yang telah difirmankanNya di dalam
Al-Quran. Oleh sebab itu dalam hal ini penulis sepakat bahwa, Seni dan sains
dalam islam berdasarkan paham kesatupaduan (unitas) yang merupakan inti wahyu
muslim. Tujuan dari semua sains kosmologi abad pertengahan dan zaman kuno ialah
untuk menunjukan kesatupaduan dan interrelasi dari segala yang ada, sehingga
dengan merenungkan kesatupaduan kosmos, orang dapat menuju kearah kesatuan
dasar ilahi yang dia bayangkan dalam kesatuan alam (Nasr, 1986: 1-2).
Jika pengetahuan selalu melibatkan pemodelan
dunia dalam sisitem-sistem representasional tertentu, dan selalu ada yang
diidealkan, maka selalu ada kemungkinan formal bahwa sistem representasional
yang terbukti cocok bagi satu jenis persoalan bisa jadi tidak bisa dielakkan
atau tidak konsisten dengan sistem represantisional yang lain yang sama
cocoknya untuk jenis persoalan yang lain (Santosa, 2011: 305). Seni dan sains
juga berawal dari ide yang dihadirkan dalam imajinasi, sebab seniman pada
dasarnya juga mengandalkan kekuatan ide dan imajinasi sebagai sumber
penciptaannya, pasti tidak ada satupun manusia
di dunia ini yang bisa mengukur secara kasat mata berapa besarnya ide
yang ada di dalam kepalanya.
Sehingga
yang menjadi kekuatan seorang seniman ialah kebebasan berfikir dan menyalurkan
ide dan imajinasi dalam bentuk karya, karsa dan cipta, lantas di mana letak
perbedaannya dengan sains? Dalam sejarah ide, pemikiran dan sains mutasi yang
sama malah memberikan dampak berbeda, yaitu mencerai-beraikan
rangkaian-rangkaian yang dibentuk oleh kemajuan kesadaran (consciusness). Lebih memusatkan perhatian pada masalah proses
pertemuan dan kulminasi antar ide, pemikiran dan sains serta telah melihat
ketidakmungkinan terciptanya satu totalitas utuh (Foucault, 2012: 25).
Pernyataan Foucault ini memang memberikan
kontradiksi yang membingungkan untuk dipahami, akan tetapi dari pernyataannya
penulis mencoba memahami, bahwa di dalam sains juga ada ketidak sempurnaan
sehingga tidak semua tercipta menjadi satu totalitas yang utuh.
Namun
sebagai bentuk tidak ada yang sempurna di dunia ini, bahwa seni dan sains tentu
saja memiliki keterbatasannya masing-masing. Oleh sebab itu Seni dan sains juga
membutuhkan bahasa sebagai alat ungkapnya, meskipun bahasa tercipta berdasarkan
imajinasi manusia, namun dalam hal ini keterbatasan yang dimiliki imajinasi
juga dimiliki oleh bahasa, karena bahasa juga diderivasikan dari indra kita dan
dunia sehari-hari. Distorsi-distorsi yang terjadi akibat pemaksaan yang
dilakukan untuk menggambarkan alam, yaitu keitka kita mencoba memetakan dunia
tiga dimensi menjadi dua dimensi, yang disebut dalam bahasa
Mercatot;”Greendland selalu menggelembung secara absurd” ditiru oleh “contekan”
yang kita lakukan saat kita menggunakan bahasa sehari-hari, ingin menggambarkan
jarak yang dimiliki alam (Smith, 2001: 159).
Fakta
di atas juga menjadi salah satu pembeda antara seni dan sains, sebab ada
perbedaan visi dan misi meskipun pada konteks karya antara saintis dan seniman
sama-sama melakukan proses penemuan, hanya saja dalam perwujudannya yang
berbeda, inipun terbagi dalam beberapa sisi. Saintis secara tahap kerja
melakukan hal yang sama dengan seorang seniman. Seperti melakukan observasi,
prediksi, hipotesis, kesimpulan (“karya”) sebagai bentuk penuangan hasil akhir.
Tahapan ini juga secara tidak langsung dilakukan oleh seorang seniman dalam
menghasilkan karya seni. Lantas apa yang menjadi pembeda antara seni dan sains?
Salah satunya, Sains tidak dikaitkan dengan hal yang pernah hidup (ada) atau
yang mesti hidup (ada), jika tujuan ideal yang sesuai dengan sains tersebut
ingin dibentuk; tapi dia dikaitkan dengan apa yang pernah dikatakan, atau apa
yang harus dikatakan, jika diskursus yang akan terwujud sesuai dengan kriteria
eksperimental dan formal keilmiahan (Foucault, 2012: 324-325). Tentu saja masih
ada pendapat yang berbeda dari pernyataan yang diungkapkan Foucault ini.
Berdasarkan
dari pernyataan Foucault di atas, maka tampak
bahwa perbedaan yang signifikan ialah terletak pada fungsi hasil akhir
yang telah dilakukan, jika seni hasil akhirnya bisa disimpulkan dalam dua
perkara yakni, pertama karya seni sebagai hiburan dan kedua, karya seni sebagai
ruang refleksi pengetahuan. Apakah pemahaman hasil akhir seni ini juga terdapat
pada sains? Meresepsi lebih dalam akan perbedaan seni dan sains, maka ada kesamaan namun secara umum tidak
sama. Kesamaan hasil akhir seni dan sains ialah sama-sama berkaitan dengan
pengetahuan, akan tetapi seni lebih fokus sebagai hiburan, sementara hiburan
hasil akhir sains tentu saja terletak pada si penelitinya yang telah berhasil
menemukan hasil uji coba dan eksplorasinya, masyarakat hanya mendapatkan
dampaknya saja.
Karena seni dan sains sama-sama berkaitan
dengan yang namanya pengetahuan, atau bahkan pengetahuan itu sendiri, maka
dalam hal ini penulis sepakat dengan Plato
yang membagi pengetahuan manusia menjadi empat tingkatan: a). Pengetahuan yang
diperoleh melalui intelek (intelegence),
pengetahuan sejati yang mencapai kulminasi pada ‘penglihatan’ total terhadap
kebenaran utama (ultimate truth). b).
Pengetahuan yang diperoleh melalui penalaran (reason), pengetahuan matematis yang sepenuhnya didasari penalaran
deduktif. c). Kepercayaan sehari-hari (comonsense
beliefs) pengetahuan tentang moralitas dan hal-hal yang bersifat fisik,
pengetahuan yang berguna bagi kehidupan sehari-hari tetapi tidak pernah
mencapai kebenaran utama karena berurusan dengan dunia jasmani yang
berubah-ubah. d). Ilusi (illusions),
pengetahuan yang didapatkan melalui impresi-impresi tak langsung (secondhand impressions) dan opini-opini
yang memenuhi benak orang kebanyak (Plato “Republik”, 2002: 249-258).
Berdasarkan
dari pernyataan Plato yang terdapat seperti kutipan di atas maka menjadi jelas
bahwa pengetahuan adalah wilayah koordianasi dan subordinasi pernyataan-pernyataan
dimana konsep tampak, didefinisakan, diaplikasikan dan ditransformasikan
(Foucault, 2012: 325). Setelah menemukan persamaan antara seni dan sains, maka
pada penulis juga merasa penting menganalisis dampaknya. Jika dampak
pengetahuan tersebut demi kemaslahatan umat, maka hasil karya sains menjadi
konsumsi publik atau rakyat (sebagai
product), atau pengetahuan masal yang bermanfaat. Sementara pada konteks
tertentu dalam seni, khususnya seni rupa yang di tata dalam bingkai dan pesanan,
maka akan menjadi konsumsi individu (kolektor
dll), berbeda lagi jika telah di taruh dalam museum atau karya seni rupa
yang di pajang sebagai hiasan kota, begitu juga teater, musik dan lain-lain
yang sekiranya juga bagian dari konsumsi publik, terlihat hasil sains dan seni
sama. Seni pertunjukan dampaknya juga sama untuk khalayak tertentu, misalnya
jika pagelaran di hadirkan di dalam gedung, atau akan lebih luas jika ditonton
di lapangan. Seni musik juga sama, maka bila diamati lebih dalam peran dan
fungsi sains dimasyarakat hampir sama dengan seni, yang membedakan ialah, pada
sains pengetahuan yang lebih dalam ada pada si peneliti atau si penemu,
sementara masyarakat hanya sebagai pengingat saja.
Berbeda
dengan seni, pengaruh kesenian memang tidak seketika terlihat, tetapi isi
keindahan di dalam jiwa itu lalu mengadakan “warna” dari jiwa itu, hingga dapat
berujudlah “watak” yakni bentukan jiwa yang tetap dan mewujudkan “kepribadian”
(Dewantara, 2011: 306). Karena di dalam seni terdapat yang disebut dengan estetika.
Estetik atau “estetika” dapat berarti
“ilmu pengetahuan” yang mempelajari dan mengajarkan segala soal keindahan.
Sebab “estetika” itu berarti “pengetahuan tentang memasukkan pandangan dari
luar ke dalam jiwa” (waarneming dan
gewaarwording), yang oleh Kant dijelaskan sebagai “ilmu tentang menertibkan
bekerjanya panca indra dalam hubungannya dengan alam dan zaman” (transzendentale aesthetik), sedangkan
“etik” disebut transzendentale logik”
(Dewantara, 2011: 61).
Sebagai
ilmu pengetahuan Pandangan yang di terangkan dalam pemaparan di atas, lebih
fokus pada peran seni dan sains yang positif dan dampaknya yang berguna oleh
masyarakat, karena seni dan sains sama-sama berangkat dan tidak terlepas dari
mempelajari ilmu alam. Di dalam sains, Ilmu alam yang dipelajari ialah aspek
fisik dan non manusia, tentang bumi dan alam sekitarnya. Ilmu alam membentuk
landasan bagi ilmu terapan, yang keduannya dibedakan dari ilmu sosial,
humaniora, teologi dan seni. Namun sains juga terbagi pada ilmu pengetahuan
alam dan ilmu pengetahuan sosial.
Bagaimanapun
istilah ‘alamiah’ di benak para epistemolog yang mengaplikasikannya bagi
penjelasan-penjelasan ilmiah (khususnya yang dari luar ilmu-ilmu kognitif)
semata-mata hanya untuk menjelaskan
hal-hal yang berkaitan dengan cara kerja pikiran. Namun penjelasan ini parsial
saja sifatnya, karena yang ditolak sebenarnya adalah klaim kalau ‘naturalisme’
menyediakan penjelasan-penjelasan lengkap terhadap semua fenomena mental,
menyimpulkan secara metafisik bahwa pikiran bukan lain kecuali sekumpulan
proses yang bisa dipelajari ilmu-ilmu alam. Memang manusia makhluk-makhluk
alamiah, di antara status kemakhlukan manusia yang lain, namun justru aspek
yang lain itulah yang tidak bisa dijelaskan oleh ilmu-ilmu alam (Santosa, 2011:
347).
Bukti
di dalam sains sendiri mengalami perkembangan ialah proses transformasi
kedokteran klinis menuju bagian dari sains sebab; pada mulanya kedokteran
klinis bukanlah sebuah sains. Bukan hanya karena dia tidak memenuhi kriteria
formal, atau karena belum mencapai level yang jelas sebagaimana yang telah
dialami fisika, kimia, atau fisiologi; tapi juga karena dia terdiri dari
sejumlah observasi empiris yang tidak terorganisir, eksperimental dan hasil
yang tidak terkontrol, preskripsi terapis serta regulasi-regulasi
institusional. Akan tetapi, keadaannya
yang bukan sains ini tidak berarti dia tersisihkan dari sains: dikancah
pengetahuan abad 19, dia membentuk relasi yang amat jelas antara sains-sains
yang telah sempurna terbentuk seperti fisiologi, kimia atau mikrobiologi; lebih
jauh lagi menyebabkan lahirnya diskursus-diskursus, seperti diskursus anatomi
penyakit (morbid anatomy), yang tentu
saja akan disangka sebagai sains yang keliru (Foucault, 2012: 322-333 ).
Pernyataan Foucault ini memunculkan daya kritis untuk mencurigai dampak yang
dimunculkan oleh pengetahuan.
Bukankah
di dalam seni juga terjadi pergeseran? Misalnya: ketika karya seni yang menjadi
produk publik seperti kursi, meja, sendok, piring dan peralatan primer dan
sekunder masyarakat pada umumnya? Bukankah nilai seni dari benda-benda ini juga
telah hilang sisi magisnya, secara artistik ia tidak menjadi unik lagi, karena
segalanya sudah menjadi biasa, sebab ia telah menjadi konsumsi publik secara
umum. Namun berbeda ketika peralatan fisik ini di mimesis melalui lukisan dan
patung maka ia kemudian memiliki nilai seni kembali. Lantas dimana sebenarnya
letak keindahan seni itu sendiri? Apakah pada peniruannya, sehingga bisa
menilai letak ketelitian sang kreator untuk melakukan peniruan, atau justru ide
sang kreator untuk menghadirkannya kembali dalam realitas artistik yang
imajinatif? Pertanyaan ini tentu saja tidak akan bisa diputuskan dengan satu
jawaban, melainkan membutuhkan analisis lebih dalam. Secara benang merah
penulis ingin menarik dan mengkorelasikannya dengan tema utama, bagaimana peran
aktor dalam menyikapi tentang seni dan sains ini? Apakah seorang aktor sudah
menemukan jati dirinya dengan pengetahuan sains, dampaknya dan kerjanya?
Jawabannya tentu sudah tertulis dari pemaparan yang telah dijelaskan.
Secara
ringkas pembahasan tentang seni dan sains juga sudah dijelaskan di atas, namun
tetap menyisakan pertanyaan-pertanyaan. Tentu saja pertanyaan ini tidak akan
pernah selesai sebab, setiap kehidupan yang berlangsung akan kembali
memunculkan pertanyaan baru dan disinilah kemudian perannnya ilmu pengetahuan
untuk mengungkapnnya, termasuk peran seni dan sains. Secara esensi memang seni
menjadikan mimesis sebagai mesin penggerak kreatifitasnya, namun mimesis disini
tentu saja memiliki kreasi yang berbeda dari objek aslinya. Seperti peralatan
primer dan sekunder manusia yang dimimesis dalam sebuah karya. Begitu juga
dengan seorang aktor yang memimesis manusia yang lain untuk ia hidupkan dalam
perannya. Tetapi mimesis yang dilakukan oleh seorang seniman bukanlah peniruan
yang mutlak dan akan menghasilkan bentuk seperti aslinya. Melainkan sudah masuk
sisi kreatif, dan nilainya ialah bentuk yang terpadu dengan ekspresi sang
kreator.
III.
Dampak
Positif Dan Negatif Seni Dan Sains
Jika
membandingkan dampak negatif antara sains dan seni, manakah yang lebih
membahayakan? Tentu saja peluang bahaya lebih banyak terdapat pada wilayah
sains, seperti penemuan nuklir, bom atom, dan penemuan senjata. ‘Bad science’ (ilmu yang buruk) sudah
pasti tidak baik untuk kesehatan dan kesejahteraan manusia dan harus dihindari.
Jika hal ini terjadi maka, Ilmu reduksionis telah gagal dalam uji realitas,
semata-mata karena terbukti tidak berfungsi dalam banyak kasus. Daftar
kegagalan mencakup revolusi hijau, eugenik (paham supremasi keturunan) dan
energi nuklir (Wan Ho, 2008: 49). Foucault meyakini keterputusan radikal yang
melahirkan ilmu pengetahuan (alam) terjadi melalui transformasi yang
“menghasilkan sebuah ilmu dengan cara melepaskannya dari ideologi masa lalu,
dan mengungkapkan masa lalu tersebut sebagai yang ideologis.” Dari situlah
Foucault melancarkan gugatan atas sejarah ide-ide (Foucault, 2012: 6).
Selain
dari penemuan-penemuan eksplorasi di bidang kimia, manusia yang bergelut dalam
dunia sains juga menciptakan banyak hal yang tentu saja merugikan, seperti
rekayasa genetik, bahkan eksplorasai yang menggali alam yang tidak terkontrol,
sampai saat ini kondisi bumi dan alam itu sendiri dalam kondisi yang memprihatinkan,
karena kebutuhan manusia hanya demi kemajuan suatu industri. Di atas semua itu,
ilmu juga bisa salah dan dapat dirundingkan, karena kita mempunyai pilihan
untuk melakukannya atau tidak. Pilihan ilmu harus dirundingkan demi kebaikan
publik (Wan Ho, 2008: 10). Seharusnya Inovasi yang dilakukan melalui
pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek) diyakini dapat memberikan
manfaat positif terhadap dunia industri (Suhardi, 2009: 216). Tentu saja tidak
salah jika industri menjadi prioritas. Tapi kenyataannya keserakahan manusia
yang mengeksploitasi alam ini tampak berlebihan. Para saintisme bahkan ingin
menyamakan kedudukannya seperti Tuhan. Hal ini seperti yang diungkapkan Hegel,
bahwa rasio mengambil alih tempat Tuhan, dan jiwa manusialah yang berkembang
sedikit demi sedikit. Bagi Feuerbach, Tuhan merupakan ilusi yang mengalienasi
manusia, namun sekali dibebaskan dari ilusi ini manusialah yang akhirnya
menyadari kebebasannya; akhirnya, bagi Nietzsche, kematian Tuhan menandai
berakhirnya metafisika, namun Tuhan tidak digantikan oleh manusia, dan ruang
itu tetap kosong (Carrette, 2011: 120).
Berbeda dengan Seni sebagai suatu pengetahuan,
bergerak jelas dengan karyanya, menghadirkan karya-karya sebagai peringatan
terhadap manusia bahwa bumi atau alam sedang mengalami masa kritis, Contoh tersebut
adalah warna-warna (yang sering disebut kualitas sekunder) kepadatan/kecairan
dsbg yang masih terhitung dunia meso, dan bukan dunia mikro (Smith, 2001: 156).
Perbedaannya dengan sains, yang sampai saat ini masih pada tahap penemuan dan tidak
menutup kemungkinan sebagian saintisnya atau saintisnya ditunggangi oleh elit
global, dalam hal ini seni lebih mandiri dan independen, meskipun tetap ada
seni yang dikuasasi oleh segolongan elit global, dan membahayakan, seperti seni
multi media yang saat ini menjadi alat propaganda yang paling mutakhir,
terutama dengan adanya komputer CGI. Namun hal ini terjadi karena memang seni
tersebut telah kawin dengan sains.
Karena seharusnya Jiwa manusia sebaliknya telah merupakan “diferensiasi”;
kekuatan-kekuatan, terkenal dengan sebutan “tri-sakti”; ketiga kekutan itu
ialah: pikiran, rasa dan kemauan atau “cipta-rasa-karsa”. Tri sakti inilah yang
disebut budi (Dewantara, 2011: 60). Jiwa inilah yang dimiliki seorang seniman, yang
seharusnya juga dimiliki oleh seorang saintis.
IV.
Peran
Sains Bagi Seorang Aktor (Bukan Bintang)
Berdasarkan
dari pemaparan yang telah di jelaskan di atas, maka dapat di tarik kesimpulan,
bahwa antara seni dan sains, sesungguhnya tidaklah mengalami perbedaan yang
signifikan. Perbedaannya hanya pada hasil, peran dan fungsi, namun pada cara
kerja bisa dikatakan sama, begitu juga tujuannya sama, karena keinginan dua
cabang ilmu ini bertujuan sama yakni, sama-sama demi kepentingan ilmu
pengetahuan dan kemaslahatan masyarakat di dunia. Perbedaannya terletak bahwa
ketika dari masing-masing cabang ilmu ini dikuasai oleh segolongan manusia yang
tidak baik, maka dua ilmu ini akan berefek buruk bagi alam dan kehidupan. Seni
bisa memberikan propaganda dan pengaruhnya melalui provokasi simbol. Sains
memberikan dampak kehancuran apabila hasil temuan kimia digunakan untuk
penghancuran alam dan umat manusia. Pada intinya, seni dan sains adalah suatu
pintu gerbang menuju keselamatan dan kemaslahatan di dunia, jika manusia
benar-benar menggunakannya untuk kebaikan, bukan hanya kepentingan pribadi
ataupun golongan.
Sebelum
penulis menarik kesimpulan peran sains bagi seorang aktor, pada kesempatan ini
penulis ingin menerangkan terlebih dahulu sejarah dari proses kelahiran seni
akting itu sendiri berdasarkan catatan yang telah ditemukan oleh para aktor
terdahulu. Supaya hasil penyimpulan peran saing bagi seorang aktor ini memang
benar-benar berguna bagi diri penulis yang menggeluti dunia keaktoran. Bila dilihat
dari sejarah perkembangannya yang disebut seni akting sudah berkembang sejak
tahun 2200 Sebelum Masehi (SM) di negeri Cina, pada pesta panen yang biasa
diadakan pertunjukan hiburan berupa ketrampilan fisik/akrobat dan laku yang
menirukan kelakuan orang lain. Di Yunani sekitar 500 tahun SM ada kebiasaan
mengadakan upacara menghormati dewa Dyonisos. Ketika itu seorang pujangga
bernama Aechylus (525-426 SM) menyusun naskah drama yang pertama menampilkan
lebih dari lima pemain. Bersama Aechylus unsur nyanyian dan tarian serta gerak
ritual digantikan oleh stilisasi gerak dengan alur cerita dan dialog yang
diucapkan (Anirun, 1998: 8). Tentu saja pola kerja seorang aktor yang ada sejak
zaman dahulu mengalami perkembangan dan berbeda dengan zaman sekarang. Hal ini
di dasari karena pada saat sekarang ini, sesuai dengan tuntutan zaman, menjadi
seorang aktor dituntut untuk cerdas dan siap mendapatkan peran yang ditunjuk
dengan profesional.
Sehingga jika ditarik kesimpulan
peran sains bagi seorang aktor ialah, pertama seorang aktor bisa meminjam cara
kerja seorang saintis atau saintis untuk melakukan pekerjaan seorang aktor
dalam menciptakan peran. Bukan hanya memerankan sebagai seorang tokoh saintis,
melainkan semua peran yang ada di dalam lakon yang akan dimainkan. Kedua, seorang
aktor hendaklah memiliki itelegnsi yang mapan, karena dengan intelegensi yang
baik akan memberikan pengetahuan bagi seorang aktor, karena seorang aktor haruslah seorang seniman dan memiliki
ketrampilan tinggi. (Yudiaryani, 2002: 50). Bagaimana mungkin keterampilan bisa
dimiliki oleh seorang aktor tanpa intelegensi yang baik terdapat di dalam
dirinya. Apakah intelegensi itu faktor alam, tentu bisa saja, akan tetapi
kesempatan untuk mengasah itelengensi juga terjadi bagi manusia yang berfikir dan
mampu bekerja keras melatih intelegensinya, tidak hanya mengandalkan bakat alam.
Sebab bakat itu nilainya hanyalah satu persen, sementara yang sembilan puluh
sembilan persen adalah kerja keras.
Oleh sebab itu, dengan kecerdasan dan kemampuan
fikir yang sudah terlatih, maka seorang aktor akan siap memerankan peran dengan
gaya akting apapun. Seperti yang dikatakan oleh Harrop & Epstein (1982: 2)
yang mengatakan bahwa, aktor adalah memainkan suatu peran, bukannya menjadi
person “rill”. Semua teater mempersentasikan ilusi realitas. Semua lakon adalah
dramatis persona yakni, semua lakon adalah topeng drama. Oleh sebab lakon
adalah topeng drama, maka sosok yang menghidupkan topeng tersebut adalah aktor
yang berekspresi, menginterpretasi dan berkreasi dalam akting. Tidak menutup
kemungkinan gaya akting seorang aktor menyertai dalam kerja kreatifnya, juga
gaya akting seorang aktor akan menempel disetiap peran yang dimainkannya.
Di dalam seni dan teater,
sebenarnya memiliki genre teater naturalis, atau seni naturalis, atau teater
yang menghadirkan alam, teater alami, atau bahkan teater yang mengeksplorasi
alam itu sendiri, oleh sebab itu, pengetahuan tentang sains dalam hal ini pasti
akan berguna sebagai wawasan dan pengetahuan bagi seorang aktor. Begitu juga
apabila seorang aktor mendapatkan peran menjadi seorang saintis. Sebab
tugas seorang pemeran adalah membawakan peran lakon sesuai dengan porsi yang
tersedia untuknya (Anirun, 1998: 41). Gunanya pengetahuan sains juga jelas
bahwa proses adaptasi terhadap alam itu sendiri akan lebih mudah dilakukan oleh
seorang aktor.
Selain dari pemaparan yang telah dijelaskan di
atas mengapa sains berperan penting bagi seorang aktor ialah; pertama, karena
naskah yang dimainkan oleh seorang aktor memiliki alamnya sendiri, dan memiliki
segala kompleksitas alamiah yang harus dihidupkan oleh seorang aktor, oleh
sebab itu pengetahuan sains dalam hal ini penting menjadi bekal bagi seorang aktor.
Meskipun harus diakui bahwa sangat jarang pementasan teater yang berkolaborasi
dengan sains di negeri ini, tapi tidak menutup kemungkinan, seiring
perkembangan zaman, teater sains akan bermunculan di negeri ini. Karena bila
melihat dan mengamati lebih seksama lagi, persentasi dari hasil temuan sainsti
atau saintis, juga sama seperti seorang aktor sedang mempertunjukan sesuatu
dihadapan penonton. Secara tidak langsung penongon seperti melihat seorang
aktor yang sedang beraksi, perbedaannya hanya
persoalan memperlakukan saja, toh
secara esensi tontonan tersebut bisa dikatakan sebagai peristiwa teater.
Kedua seorang aktor juga membutuhkan banyak
pengetahuan untuk menganalisis suatu naskah, baik itu perannya sendiri, lawan
mainnya, alam tempat bermain dan segala atmosfir mikrokosmos yang akan
dihidupkan oleh seorang aktor. Sebab tugas fundamental seorang aktor adalah
“menemukan, mengadopsi, dan memerankan” topeng yang tepat (Harrop&Epstein,
1982: 10). Bukankah didalam sains juga tujuan utama penelitiannya adalah
penemuan? Itulah sebabnya mengapa penulis mengatakan bahwa sains berperan
penting bagi seorang aktor, karena penemuan yang dilakukan oleh sains sangat
berguna bagi modal seorang aktor untuk melakukan pekerjaannya secara
profesional.
Pengetahuan yang harus dikuasai oleh seorang
aktor dalam menganalisis peran diantaranya ialah; ilmu psikologi untuk
mengetahui kejiwaan dari masing-masing tokoh, baik yang dimainkan maupun kawan
main atau lawan main. Selanjutnya ilmu sosiologi yang berguna dalam menganalisis
kehidupan sosial tokoh dan sosiodrama yang ada. Kemudian fisiologi tokoh yang
juga ditemukan sebagai cirikhas atau kharakteristik ketika berhadapan dengan
tokoh-tokoh yang berbeda. Selanjutnya ilmu genetika, yang kemudian berperan
penting untuk mengetahui bagaimana kecendrungan gen berpengaruh di dalam tubuh
manusia. Hal ini berguna apabila ada peran yang dimainkan yang berhubungan
secara genetik. Selanjutnya ilmu biologi dan kebutuhan biologis yang juga akan
berpengaruh pada kecendrungan manusia yang akan dihidupkan didalam lakon.
Begitu juga dengan ilmu geografi yang tentu saja sangat membantu seorang aktor
menghidupkan secara imajinatif keadaan geografis naskah tersebut disaat
pementasan. Dan tentu saja masih banyak lagi yang seharusnya seorang aktor juga
mengerti dan memahami untuk peningkatan kinerjanya secara profesional.
Daftar Pustaka
Acmad,
A. Kasim. Mengenal Teater Tradisional di
Indonesia. Jakarta: Dewan Kesenian Jakarta.
2006.
______,___.
Pendidikan Seni Teater, Buku Guru Sekolah
Menengah Atas. Jakarta: Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan. PT. Tema
Baru. 1990.
Anirun,
Suyatna. 1998, Menjadi Aktor, Pengantar
Kepada Seni Peran Untuk Pentas Dan Sinema. Studi Klub Teater Bandung, Taman
Budaya Jawa Barat, PT. Rekamedia Multiprakarsa.
Carrette,
Jeremy R. (ed). 2011, Agama Seksualitas
Kebudayaan, Esai, Kuliah, dan Wawancara Terpilih Foucault, Jalasutra:
Yogyakarta.
Dewantara,
Ki Hadjar. 2011, Karya Ki Hadjar
Dewantara Bagian Kedua Kebudayaan, Majelis Luhur Persatuan Taman Siswa:
Yogyakarta.
Foucault,
Michel. 2012, Arkeologi Pengetahuan,
IRCiSoD: Yogyakarta.
Gelb,
Michael J. 2002, Menjadi Jenius Seperti
Leonardo Da Vinci, Menggunakan Tujuh Prinsip Da Vinci untuk meningkatkan
Kreativitas dan Menyeimbangkan Tubuh dan Pikiran, Gramedia Pustaka Utama:
Jakarta.
Harymawan.
RMA. 1993, Dramaturgi. PT Remaja
Rosdakarya. Bandung.
Haught,
John F. 2004, Perjumpaan Sains dan Agama,
Dari Konflik ke Dialog, PT. Mizan Pustaka: Bandung.
Harrop, John. Akting
Theatre concepts series. London: This edition published in the Taylor &
Francis e-Library, 2005.
______,____& Epstein, Sabin R.
Acting With Style (1982). Diterjemahkan oleh Yudiaryani. Jurusan Teater,
Fakultas Seni Pertunjukan ISI Yogyakarta. 2008.
Iswantara, Nur. Menciptakan Tradisi Teater Indonesia.
Tanggerang: CS Book. 2007.
Najjar,
Zaghlul An. 2011, Sains Dalam Hadis
Mengungkap Fakta Ilmiah Dari Kemukjizatan Hadis Nabi, AMZAH: Jakarta.
Nasr,
Seyyed Hossein. 1986, Sains Dan Peradaban
Di Dalam Islam, Pustaka: Bandung.
Plato. 2002, Republik. Bentang Budaya: Yogyakarta.
Suhardi,
Idwan. 2009, Sains & Teknologi,
Berbagai Ide Untuk Menjawab Tantangan & kebutuhan, Oleh Ristek, PT
Gramedia Pustaka Utama: Jakarta.
Satoto, Soediro.
Analisis Drama Dan Teater.
Yogyakarta: Ombak (Anggota IKAPI). 2012.
_____,_______.
Analisis Drama Dan Teater Jilid 2. Yogyakarta:
Ombak (Anggota.
Santosa, Yudi
(ed). 2011, Filsafat Ilmu Suatu Pengantar,
CI Press: Yogyakarta.
Shakespeare,
Wiliam. 2016, Hamlet, Tragedi Pangeran
Denmark, Karya Drama Terbaik Shakespeare Yang Legendaris, (diterjemahkan
oleh: Santiko Budi), Stomata Publishing: Surabaya.
Smith,
Huston. 2001, kebenran yang terlupakan,
kritik atas sains dan modernitas, IRCiSoD: Yogyakarta.
Soedarso Sp. (2006). Trilogi Seni, Penciptaan Eksistensi Dan Kegunaan Seni, Penerbit.
ISI Yogyakarta.
Wan
Ho, Mae. 2008, Rekayasa Genentik Impian
atau Petaka, INSISTPress: Yogyakarta.
Yudiaryani, Panggung
Teater Dunia, Perkembangan Dan Prubahan Konvensi, Pustaka Gondho Suli,
Yogyakarta. 2002
_________.
WS Rendra dan Teater Mini Kata.
Yogyakarta: Galang Pustaka, 2015.
Komentar
Posting Komentar