kritik aktor
KRITIK SENI
PENILAIAN KRITIS YANG BERDAMPAK
POSITIF PADA DIRI PENULIS
MBAH
TOHIR AKTOR YANG TAK PERNAH PADAM
Dosen
Pengampu:
Drs M. Suwarno. MFA., Ph.D
Oleh:
ROCI
MARCIANO
PENCIPTAAN
SENI / SENI TEATER
NIM:
122 0616 411
PROGRAM PASCA SARJANA
INSTITUT SENI INDONESIA
YOGYAKARTA
Foto 1.
Monolog Mbah Tohir dengan Judul Jokasmo di Jurursan Teater ISI Yogyakarta. (Foto;
oleh Agnes; 20-09-2012)
I. PENDAHULUAN
Mbah Tohir,
begitulah jika generasi zaman sekarang memanggilnya, tentu saja panggilan
sayang tersebut di khususkan bagi yang mengenal dan di kenal oleh sosok tua
yang sederhana ini (Pada saat masih muda, Mbah Tohir lebih dikenal dengan
panggilan Mas Tohir). Mbah Tohir Lahir di Surabaya pada tanggal 29 September 1946. Mbah Tohir memulai karirnya dalam
dunia teater sejak SMP (Sekolah Menengah Pertama), kemudian dilanjutkan pada
saat SMA di Tri Murti (Sekolah Menengah Atas), karena rasa senangnya
berkegiatan di teater, hingga lulus SMApun Mbah Tohir masih berteater yang
kemudian dilanjutkan ke jenjang perguruan tinggi yaitu di Fakultas Ilmu Hukum
kampus Air Langga juga Akademi Seni Rupa Surabaya, yang pada saat itu Mbah
Tohir kuliah di dua kampus.[i]
Seiring pada perjalanan berteater tersebut Mbah Tohirpun
kemudian bergabung dengan kelompok Sandiwara Srimulat Surabaya pada tahun 1966
sampai 1967. Akan tetapi di awal-awal bregabungnya dengan kelompok Srimulat
Mbah Tohir memulai karirnya sebagai pelukis reklame, yang kemudian dilanjutkan
sebagai artis panggung, baik itu menjadi penata rias pemain, juga berperan
sebagai pemain, akan tetapi pada saat itu peran-peran yang sering dimainkannya
selalu tokoh-tokoh horor, sehingga iapun dijuluki sebagai spesialis tokoh
horor, hingga kemudian Mbah Tohir juga pernah berperan sebagai sutradara.
Melihat kembali dengan ketabahan Mbah Tohir dalam berkesenian
yang digelutinya, penulis tentu saja merasa sangat bangga dan salut bahwa Mbah
Tohir konsisten dalam pekerjaannya. Jika melihat kondisi pada saat sekarang ini tentu saja sangat sulit mencari
seniman-seniman khususnya di bidang teater yang mampu menjalani seperti apa
yang telah di jalani oleh Mbah Tohir, seperti ungkapan “...Benjamin yang
melihat krisis kultur modern yang berakar dalam teknologi ikut juga menjadi
biang keladi problematika dalam penciptaan dan penyebaran karya seni.[ii]
Melihat begitu banyakanya tuntutan-tuntutan kebutuhan
untuk menyambung hidup yanng akhirnya mengorbankan idealis kesenimanannya dalam
berperan khususnya pada saat ingin menyelenggarakan pementasan teater.
Kehadiran Mbah Tohir dengan sosok sebagai aktor tua yang masih eksis di
panggung dan enerjik ini seakan-akan menjadi cambuk untuk aktor-aktor muda saat
ini yang tentunya sudah banyak merasa putus asa ketika bergelut menjadi aktor
panggung.
Jika membanding-bandingkan penghasilan yang di dapat oleh
aktor panggung teater dan aktor-aktor sinetron dan film, tentu saja secara
finansial yang di dapatkan oleh aktor panggung sangat jauh dari standar
penghasilan aktor-aktor yang eksis di teve-teve swasta tersebut. Hal ini juga
menjadi catatan yang sangat ironis bagi penulis sendiri, karena apa bila
dibandingkan secara kualitas seni peran tentu saja aktor-aktor sinetron tidak
akan bisa menandingi kreatifitas aktor-aktor yang biasa terlatih di atas panggung.
akan tetapi faktor keberuntungan tentu saja akan berkata lain, sehingga dengan
hadirnya Mbah Tohir sebagai aktor yang tak pernah padam ini, tentu saja harus
diapresiasi oleh semua kalangan khususnya para pegiat teater.
Sehingga dengan melihat Mbah Tohir beraksi di atas
panggung tersebut tentu diharapkan menambah pertanyaan-pertanyaan yang serius
untuk di jawab oleh aktor-aktor muda yang suka berkoar-koar tentang teater, pertanyaannya apakah mampu bertahan seperti Mbah Tohir? Tanpa mengeluh
dan tanpa menyesali keadaan ia masih terjun bergelut dengan panggung. “...Kami
juga membutuhkan seorang sutradara, karena kami tidak mempunyainya, maka kami
harus menjadi seorang sutradara itu. Kehidupan ini sendiri sering memaksa kita
untuk mau belajar lewat praktik.[iii]
II. Creative Question
Berdasarkan
dari pemaparan singkat di atas akhirnya menimbulkan pertanyaan-pertanyaan
kreatif bagi penulis secara pribadi. Sehingga menyebabkan Penulis begitu
antusias dan berkeinginan mengangkat topik Mbah Tohir ini, baik itu sebagai
refrensi, maupun media belajar untuk di kritisi, sekaligus untuk penulis
jadikan cerminan berkreatifitas secara pribadi, mudah-mudahan bagi pegiat
teater yang tersebar di seluruh Indonesia ini, khususnya para aktor-aktor
panggung yang bila berkesempatan membaca karya tulis ini belajar dari Mbah
Tohir. Adapun creative question itu
ialah;
1. Mengapa penulis menjadikan Mbah Tohir sebagai objek penelitian?
2. Siapakah Mbah Tohir bagi diri penulis dan bagi orang-orang yang mengenal sosok Mbah Tohir.
3. Kenapa Mbah Tohir masih bertahan di teater, khususnya menjadi seorang aktor?
4. Bagaimanakah pengalaman insight yang penulis rasakan ketika melakukan penelitian terhadap sosok Mbah Tohir?
5. Apa yang akan penulis lakukan selanjutnya setelah melakukan penelitian terhadap sosok Mbah Tohir?
6. Bagaimanakah akting Mbah Tohir Dalam Monolog Jokasmo?
III. Pembahasan
Terlalu banyak
pertanyaan dalam sedikit waktu dan terlalu banyak yang harus dilakukan jika
manusia hanya untuk memikirkan pelampiasan nafsu.[iv]
Pada akhirnya proses yang panjang akan menghantarkan manusia pada tujuan yang
di inginkannya. Belajar dari pengalaman orang lain adalah suatu keuntungan
tersendiri, karena dengan mempelajarinya kita tidak perlu mengalaminya
langsung, cukup dengan meresapi secara empati dan simpati, kemudian menyaring
untuk memilah dan memilih, jika yang positif maka jadikanlah manfaat dan
apabila negatif jadikanlah pelajaran yang berarti.
Setiap ada pertanyaan pasti ada
jawaban, dan setiap permasalahan pasti ada jalan keluarnya. Adapun pertanyaan
dan pernyataan yang tertulis pada creative
question yang telah di paparkan di atas, akan penulis bahas baik itu dalam
bentuk penulisan berdasarkan hasil wawancara langsung dengan objek yang di
teliti dan dikritisi yaitu Mbah Tohir maupun dikaitkan dengan apa yang penulis
alami dan analisis secara lebih mendalam. Pembahasannya ialah sebagai berikut;
a. Mengapa penulis menjadikan Mbah Tohir sebagai objek penelitian?
Pada awalnya
penulis belum mengenal siapa itu Mbah Tohir, akan tetapi disuatu malam tepatnya
di Kampus ISI Yogyakarta yang bertempat di Pendopo baru sebelah kantor Rektorat
ISI Yogyakarta, penulis melihat Mbah Tohir menyaksikan sebuah pementasan teater
tradisi Ludruk, pada saat itu sutradaranya oleh Ganes yang juga salah satu
alumni Jurusan Teater ISI Yogyakarta. Penulis saat itu dikenalkan langsung oleh
Mas Rendra yang kebetulan menjabat sebagai Astrada dan Pemain, saat itu pulalah
rasa kagum penulis pada Mbah Tohir muncul dan waktu itu hanya sebatas bahwa
Mbah Tohir adalah seorang penonton yang baik dan memiliki rasa apresiator yang
sangat tinggi terhadap teater tradisi. Lama
berselang setelah saat itu kamipun tidak pernah bertemu lagi, hingga
akhirnya pada suatu event di daerah
Solo, penulis beserta rombongan komunitas Kebelet Teater mengadakan pementasan
naskah Kapai-kapai Karya Arifin C, Noor dengan sutradara Ak Yopi.
Penulis sendiri pada saat itu tidak menyangka bahwa salah satu dari sekian
penonton yang menyaksikan pertunjukan kapai-kapai ada Mbah Tohir. Waktu itu
penulis berperan sebagai Tokoh Abu yaitu tokoh utama dalam pementasan yang di
langsungkan di Taman Budaya Solo (TBS). Setelah pementasan ternyata sahabat
penulis yang ada di solo mengatakan bahwa Mbah Tohir nitip salam dan maaf tidak
bisa bertemu langsung karena masih ada keperluan yang harus di selesaikan.
Penulispun saat itu masih
biasa-biasa saja dan menganggap salam tersebut hanya sebatas basa-basi
orang-orang panggung ketika menyaksikan pertunjukan. Hingga akhirnya pada suatu
hari setelah dua tahun kemudian Mbah Tohirpun memiliki ke inginan pentas di
Jurusan Teater FSP ISI Yogyakarta, melalui perantara Andika yang disampaikan
kepada penulis, rumor tersebut akhirnya penulis sampaikan pada Ketua HMJ Teater
(Himpunan Mahasiswa Jurusan). Tanggapan positif dan mendapat dukungan dari
semua keluarga besar Jurusan Teater hingga Mbah Tohir langsung mengunjungi kami
di Jurusan Teater.
Kehadiran Mbah Tohir langsung di Jurusan Teater dengan tujuan bersilaturahmi,
karyanya waktu itu dengan Judul Jokasmo (Monolog), berdasarkan spirit naskah
Nyanyian Angsa karya Anton Chekov saduran Teguh Karya, pertemuan itu akhirnya
membuat penulis dan Mbah Tohir menjadi semakin akrab. Banyak cerita dan kisah
yang penulis dengar dari Mbah Tohir yang akhirnya penulis jadikan pembelajaran
yang berarti, begitu juga dengan penampilan Mbah Tohir di atas panggung
memberikan rasa humor yang mampu membuat penonton tergelitik malam itu.
Foto 2. Salah satu adegan
Monolog Mbah Tohir dengan Judul Jokasmo di Auditorium Jurursan Teater ISI
Yogyakarta. (oleh Agnes; 20-09-2012).
Mengamati langsung serta bersinergi dengan Mbah Tohir akhirnya membuat
penulis menjadi sangat berdosa rasanya bila tidak menulis tentang Mbah Tohir,
karena menurut penulis sosok Mbah Tohir layak untuk dijadikan sebagai contoh
kesabaran dalam kesenian khususnya teater yang mengambil minat keaktoran. Hal
inilah yang menjadi alasan dan landasan penulis menjadikan Mbah Tohir sebagai
objek penelitian sebagai refrensi baru untuk diambil spiritnya dalam
berkesenian agar generasi sekarang tidak mengeluh dan lebih banyak bersabar,
karena tindakan kreatif acap bermula dari melihat hal-hal yang biasa, lumrah,
atau yang sudah begitu familiar, namun dilihat dengan cara lain sehingga
menjadi sesuatu yang baru, atau asing sehingga merangsang keingintauan kita.[v]
b. Siapakah Mbah Tohir bagi diri penulis dan bagi orang-orang yang mengenal sosok Mbah Tohir.
Tak
kenal makanya tak sayang, tak sayang makanya tak cinta, tak cinta maka tidak
akan terjadi persahabatan yang indah (Lagu dangdut Zakia). Akhirnya dengan
semakin seringnya berdiskusi bersama dan saling mendengar cerita satu sama
lain, maka penulis merasa banyak mendapatkan pengalaman yang tentu saja belum
penulis alami, seperti misalnya menghitung dari usia Mbah Tohir yang kurang
lebih 56 tahun saat ini, tentu saja dalam melewati hidup ini Mbah Tohir sudah
pasti banyak mengalami proses jatuh bangun dalam meniti karir.
Foto 3. Salah satu adegan
Monolog Mbah Tohir dengan Judul Jokasmo di Auditorium Jurursan Teater ISI
Yogyakarta. (oleh Agnes; 20-09-012).
Penulis akhirnya memposisikan Mbah
Tohir sebagai guru bagi penulis, karena dengan cerita dan perenungan selama
berkeseniannya menjadi ilmu bagi penulis. Hal ini tentu saja Mbah Tohir
bukanlah siapa-siapa, Mbah Tohir hanyalah sosok yang sederhana yang menjalani
hidup ini dengan sewajarnya, berkarya dan berkesenian, naik panggung turun
panggung, seperti dalam monolognya akan terus berlatih. Mbah Tohir layak untuk
di jadikan contoh dalam spirit berkesenian karena masih memiliki semangat yang
tidak kalah dengan generasi muda saat ini.
Foto 4. Salah satu foto Mbah
Tohir dengan generasi yang merasa salut di Auditorium Jurursan Teater ISI
Yogyakarta. (oleh Agnes; 20-09-2012).
Begitu juga sebenarnya bagi sebagian orang yang mengenal Mbah Tohir, karena
melihat kelegowooan Mbah Tohir dalam
kesehariannya baik itu secara sikap dan tingkah laku yang akhirnya membuat
generasi muda merasa salut dan bangga, Mbah Tohir juga tidak pernah menunjukkan
senioritasnya yang berdampak superioritas dalam berkesenian, sehingga mampu membangkitkan
spirit generasi muda untuk terus berkarya sampai tua, begitu juga dengan
penulis yang akhirnya berikrar; “bahkan jika Tuhan mengizinkan maka penulis
akan berkarya sampai ajal menjemput. Teruslah berkarya Mbah Tohir, buktikan
bahwa dunia tidak membedakan usia dalam cipta, rasa, karsa dan karya.
c. Kenapa Mbah Tohir masih bertahan di teater, khususnya menjadi seorang aktor?
Berdasarkan
dari hasil pembicaraan yang sering penulis lakukan dengan Mbah Tohir ketika
bertemu di Kampus maupun di luar kampus, dalam dialog tersebut penulis juga
sengaja menanyakan tentang jalan hidup yang dipilih oleh Mbah Tohir, baik itu
dari pengambilan sikap yang sudah di tegaskan di dalam hati maupun masa depan
yang tentu saja sifatnya belum pasti. Mbah Tohir terkadang menjawabnya begitu
santai dan seakan-akan hidup ini hanyalah sebuah pementasan yang sering
dilakukannya.
Saya;
Sebenarnya apa yang membuat Mbah Tohir memilih jalan hidup di Teater saat ini?
Mbah Tohir; Sederhana kok mas, bagi saya teater adalah guru dan tempat saya belajar
kehidupan ini.
Saya;
Terus sampai kapan Mbah akan terus berteater?
Mbah Tohir; Sampai saya tidak mampu lagi bergerak mas, bahkan ketika saya mampu
bergerakpun saya akan berteater, hanya saja tempatnya yang berbeda, biasanya
pentas di panggung, nanti panggungnya ya tempat tidur hahahaha...
Saya;
Dalam perenungan Mbah menjadi seorang aktor sampai saat ini, apa yang membuat
Mbah merasa bagaikan khatarsis atau disadarkan?
Mbah Tohir; Benar mas, selama saya menggeluti dunia keaktoran ini, sebenarnya saya
banyak mendapatkan makna-makna baru dalam kehidupan ini, misalnya saja ketika
di dalam kehidupan nyata saya benar-benar bisa merasakan makna hidup ini,
akhirnya segala bentuk suka, duka, senang dan sedih membuat saya lebih bisa
memaknainya dalam hidup, ya saya anggap saja saya sedang dapat peran dari
sutradara yang sesungguhnya (Tuhan YME).
Saya;
Ahahaha keren-keren Mbah, benar kata Mbah hidup itu hanya sepenggal kisah yang
kita jalani toh pada akhirnya kita juga akan berakhir to Mbah hahaha
Mbah Tohir; Benar Mas Roci dan saya juga menyimpulkannya dalam kata yang sudah lama
menjadi perenungan dalam diri saya..
Saya;
Apa itu Mbah?
Mbah Tohir; Dari tiada, menjadi Ada dan kembali Tiada yang berada!!
Saya; Matur
nuwun Mbah sungguh sangat-sangat mencerahkan dan memberi inspirasi ahaha huft kulo jadi semangat Mbah matur nuwun Mbah...
Mbah Tohir; Sami-sami mas, lah memangnya apa lagi yang bisa saya berikan dalam hidup
ini kecuali pengalaman saya, dan saya berterimakasih jika saya masih bermanfaat
hahaha
Saya;
Matur nuwun sanget Mbah terima kasih... J
Foto 5. Salah satu foto monolog Mbah Tohir, judul Jokasmo di
Auditorium Jurursan Teater ISI Yogyakarta. (oleh Agnes; 20-09-012).
Banyak sebenarnya hasil wawancara yang penulis tanyakan dengan Mbah
Tohir, hanya saja pada kesempatan penulisan ini penulis sengaja merangkumnya
sesuai dengan kebutuhan inti dari yang dimaksud oleh Mbah Tohir saja, bahwa
gambaran dialog singkat di atas adalah kesimpulan dari keseluruhan pembicaraan
yang penulis tanyakan, terkadang dalam menjawab pertanyaan penulis, Mbah Tohir
mengisinya dengan cerita-cerita romantisme masa muda, masa-masa geliat
berkeseniannya mencapai puncak kesuksesannya. Namun kini Mbah Tohir hanya punya
tujuan hidup yang sederhana, sekali berarti sudah itu mati katanya.[vi] (Chairil
Anwar dalam sajak Binatang Jalang).
d. Bagaimanakah pengalaman insight yang penulis rasakan ketika melakukan penelitian terhadap sosok Mbah Tohir?
Bercerita
tentang pengalaman, tentu saja sangat relatif sifatnya, karena pengalaman
adalah lebih kepada rasa yang dialami oleh subjek yang merasakan dan mengalami
hasil dari pengamatan maupun eksplorasi observasi yang dilakukan terhadap objek
yang bernyawa. Sangat banyak pengalaman yang penulis dapatkan ketika bertemu
dan mewawancarai Mbah Tohir, yang kadang menimbulkan rasa miris sekaligus
ironis juga menjadi spirit yang tiada tandingan.
Mbah Tohir bagi penulis hidup sangat
sederhana sekali, apa lagi untuk
menjalani hidup di usia senja saat ini, bahkan ketika tidur dan tertidur,
seakan-akan penulis berbisik di dalam hati bahwa sudah bukan saatnya lagi Mbah
Tohir menjadi petualang dalam berkesenian ini. Seharusnya Mbah Tohir istirahat
dan bercengkrama dengan keluarga di rumahnya, hidup dan bercanda tawa bersama
anak cucunya. Biarlah kami yang muda-muda ini melanjutkan perjuanngan dalam
kesenian ini, mengapa Mbah Tohir masih terjun kelapangan?
Campur aduk fikiran penulis ketika memperhatikan hidup Mbah Tohir, begitu
juga ketika beberapa sahabat yang mengetahui kehidupan Mbah Tohir, bahwa ada
yang mengatakan Mbah Tohir jika di Surabaya terkadang tidur di Masjid, Mushola
dan tinggal dari Kampus ke Kampus, salah satunya pernah beberapa hari tinggal
di Jurusan Teater bersama Mahasiswa ISI Yogyakarta dan untuk tempat tidurpun
tidak berharap di atas kasur, asalkan tubuhnya bisa dibaringkan itu semua sudah
cukup, pernah di suatu malam penulis melihat Mbah Tohir tidur di bangku
penonton dan penulis berbisik dengan adik kelas yang waktu itu berada di
sebelah penulis untuk menyuruh Mbah Tohir pindah tidur, akan tetapi Mbah
Tohirnya tidak bersedia dan ingin mengikuti latihan bersama yang akan dipandu
oleh Mas Abuy, kejadian itu malam pukul 24.00 WIB.
Melihat Mbah Tohir menyadarkan kembali kepada penulis untuk lebih bersabar
dan jangan merasa apa yang dilakukan selama ini sudah yang paling maksimal.
Mbah Tohir juga menyadarkan bahwa menuntut ilmu itu tidak mengenal batasan
umur, begitu juga mendapatkan ilmu tidak hanya di satu tempat yang membuat kita
nyaman, jangan mudah merasa puas dengan setiap capaian yang dilakukan, terus
belajar dan belajar. Mbah Tohir juga sangat rendah hati karena tidak pernah
merasa malu menerima ilmu dari generasi muda, karena memang kebenaran itu tidak
mengenal usia.
Penulis tidak melihat bahwa Mbah Tohir krisis eksistensi, begitu juga
kemunculannya ingin menjadi tokoh teater, dan apabila sebagian orang pernah
berkata demikian, sungguh mereka belum tau siapa Mbah Tohir, dan jika taupun
paling hanya melihat dari sisi luarnya saja, melainkan tidak secara lebih dekat.
Mbah Tohir hanya seorang pelaku seni teater sama seperti yang lainnya, hanya
saja hokinya tidak seberuntung Nano Riantiarno dan Putu Wijaya. Mbah Tohir
hanya ingin menyapa dan bersilaturahmi dengan generasi sekarang dalam bahasa
aktor melalui pementasan-pementasannya yang sudah menjelajahi kota-kota yang
ada di Pulau Jawa. Dalam keadaan Mbah Tohir sebagai Monologer keliling, ternyata Mbah Tohir masih membiayai sekolah
cucunya (ada juga yang mengatakan anak angkatnya).
Penelitian ini memberikan khatarsis bagi penulis sendiri, terutama dalam
menjaga konsisten selama berkesenian ini, memang menjadi seorang seniman harus
siap hidup sederhana, tidak mengeluh apa lagi menyerah, hidup adalah
perjuangan, panggung adalah ruang tempat bertapa, diam, semedi, hening, merenung dan lain
sebagainya. Semoga pengalaman bathin ini juga bermanfaat bagi para pembaca yang
mengapresiasi tulisan ini. Bahwa proses yang maksimal membutuhkan kesabaran,
keikhlasan dan komitmen yang tinggi agar cita-cita yang diharapkan bisa
tercapai sebagaimana mestinya. Karena salah satu tujuan kenikmatan dari seni
adalah memberikan kenikmatan kepada masyarakat pendengar atau pengamatnya.[vii]
Foto 6. Salah satu foto monolog Mbah Tohir, judul Jokasmo di
Auditorium Jurursan Teater ISI Yogyakarta. (oleh Agnes;
20-09-2012).
e. Apa yang akan penulis lakukan selanjutnya setelah melakukan penelitian dan penilaian terhadap sosok Mbah Tohir?
Melihat dan kagum tetapi tidak melakukan tindakan, sama
saja dengan terjebak pada suatu kesia-siaan. Sesungguhnya setiap gejala yang
terjadi di dalam kehidupan ini memiliki makna dan tanda-tanda untuk kepentingan
kehidupan, apabila manusia itu sendiri
melatih kepekaan intuisinya. Akan tetapi kesibukan dalam keseharianlah yang
membuat manusia itu lupa akan makna-makna esensial kehidupannya, begitu juga
dengan pengamatan penulis dalam penelitian terhadap Mbah Tohir ini, Mbah Tohir
telah melakukan pemberontakan terhadap kemapanan, sehingga ia mengikuti nalurinya untuk terus hidup dan
menghidupkan panggung teater melalui pementasan monolog Jokasmo. Saat ini
penulis akan menuliskan efect yang
akan penulis lakukan untuk selanjutnya yaitu;
Penulis berniat dan bercita-cita untuk selanjutnya akan
melampaui prestasi yang telah di lakukan Mbah Tohir, salah satunya masih eksis
dalam monolog di usianya saat ini, hal inipun tentu saja apabila Tuhan merestui
penulis dalam awet usia sampai tua. Melihat semangat Mbah Tohir meningkatkan
semangat penulis juga untuk terus berlatih dan terus mengeksplorasi
kemungkinan-kemungkinan dalam mencari tekhnik seni peran. Tidak mudah mengeluh
dan menyerah tentu saja menjadi landasan sikap yang akan penulis jadikan
sebagai pondasi kepribadian. Lebih rendah hati dan menerima kenyataan serta
terus berusaha dan berjuang akan menjadi visi dan misi kehidupan penulis. Alam
yang terkembang ini harus dijadikan guru, begitu banyak ilmu kadang-kadang yang
lewat dalam pengamatan penulis. Tidak menyia-nyiakan masa muda yaitu seperti
misalnya menghabiskan waktu hanya untuk bermain.
Berfikir sebelum bertindak, juga akhirnya penulis temukan
dalam proses penelitian ini, sehingga kedewasaan dan kebijaksanaan dalam
mengambil sikap seakan-akan secara otomatis lahir di diri penulis, bahwa tidak
ada satupun yang bisa di sombongkan dalam kehidupan ini. Penulis juga menemukan
esensi proses yang penulis lakukan selama ini, bahwa sebisa mungkin dalam
perjalanan yang dilakukan semasa hidup tidak terlepas dari “ibadah”. Selalu
memberi arti dan berbagi dengan diri sendiri lingkungan keluarga masyarakat
Bangsa dan Negara. Menyadari peran ketika hadir di setiap forum dan tempat yang
berbeda, kemudian menjadi pribadi yang menyenangkan. Hal yang penting juga yang
penulis lakukan untuk hari depan adalah menghidupkan terus kesenian khususnya
Teater dan keaktoran tanpa harus menuntut balasan hidup dari teater dan
keaktoran.
Tidak ada yang tidak mungkin di dalam kehidupan ini,
bahwa segalanya bisa saja terjadi karena begitu banyak ketidak pastian. Sedia
payung sebelum hujan tentu saja harus terus di siapkan oleh manusia sebagai
insan yang kreatif, agar penyesalan tidak selalu datang pada bagian akhir
cerita. Bermandi keringat saat ini dalam latihan seni peran, semoga esok nanti
bisa bermandi ketenangan dan kedamaian serta kesejahteraan yang bisa
membanggakan semua kalangan. Semoga setiap latihan yang penulis lakukan hari
ini bermanfaat di hari depan. Karya seni bukan semata-mata demi artistik,
melainkan adalah persoalan dalam memaknai nilai hidup.[viii]
f. Bagaimanakah Akting Mbah Tohir Dalam Monolog Jokasmo?
Melihat dan mendengar bagaimana Mbah Tohir di atas
panggung memainkan monolog Jokasmo, tentu saja sebagai penoton penulis sudah
melupakan yang namanya hal-hal tekhnis pementasan, karena secara perangkat
tekhnis pendukung pementasan semuanya disiapkan oleh teman-teman Jurusan Teater
sehingga Mbah Tohir pentas benar-benar murni membawa dirinya di atas panggung.
Begitu juga ketika melihat aktor tua tersebut berdiri di atas panggung, hanya
rasa kagum yang ada, dan pertanyaanpun muncul di kepala, “kok udah tua begini
masih kuat ya bermain di atas panggung?”. Penulis juga menikmati gaya dan cara
Mbah Tohir bermain di atas panggung, sehingga penulis membayangkan pada diri
penulis sendiri apakah nantinya penulis juga sanggup seperti Mbah Tohir yang
masih siap memamah panggung sebagai tempat eksplorasi diri sampai saat ini.
Menilai
pementasan Mbah Tohir dari sudut pandang kritis sebenarnya penulis tidak tega,
dan selalu mengingatkan pada diri akan jahatnya diri ini yang menilai Mbah
Tohir dari sudut pandang Akademis. Karena jika di nilai dengan lebih kritis
akan tekhnis keaktoran, tentu saja banyak celah dan ruang untuk mengkritisi
Mbah Tohir, hal itu tentu saja bukan karena Mbah Tohirnya yang tidak mampu dan
tidak bisa, melainkan faktor alamlah yang sudah sepantasnya berbicara (Mbah
Tohir sudah tua). Jika penulis menilai malam itu ketika menyaksikan Mbah Tohir
pentas, beberapa penilaian kritis yang bisa penulis gambarkan berdasarkan tinjauan
sebagai penonton yang kritis ialah;
1.
Pada
persoalan tekhnis ucapan yang beberapa kata tidak cukup jelas sampai kepada
penonton yang berada di bangku belakang, begitu juga terkadang persoalan diksi,
artikulasi dan intonasi yang belum meruang di area penonton.
2.
Klimaks
cerita yang belum maksimal terbina, hal ini tentu saja faktor Mbah Tohir yang nampak
mulai kelelahan ketika ingin sampai pada klimaks cerita.
3.
Tempo
permainan Mbah Tohir malam itu juga belum cukup terbina dengan baik.
4.
Secara
tubuh Mbah Tohir memang tampak sehat, akan tetapi di beberapa adegan Mbah Tohir
terlihat kelelahan, begitu juga dengan kontrol nafas.
5.
Pentas
yang tidak menggunakan musik juga tentu saja kurang menambah nuansa dan suasana
penegasan spektakel cerita, sehingga Mbah Tohir nampak bekerja keras untuk
menekankan beberapa pesan-pesan penting cerita.
Catatan positif terhadap monolog Mbah Tohir dan di nilai
dari batas kewajaran ialah;
1.
Mbah
Tohir mampu menghidupkan peran dan ceritanya, hal ini di dukung tentu saja
berdasarkan cerita yang dimainkan adalah pengalaman dari Mbah Tohir itu sendiri
meskipun berangkat dari spirit naskah Nyanyian Angsa Karya Anton Chekov saduran
Teguh Karya.
2.
Mbah
tohir mampu mendengar dan menanggapi penonton dengan baik, karena naskah
sendiri adalah milik Mbah Tohir sehingga Mbah Tohir tahu kapan saatnya
berdialog dengan penonton dan kapan masuk lagi dalam perannya.
3.
Tekhnik
muncul, bergerak yang bermotiv tampak luwes dilakukan Mbah Tohir, hal ini juga
didukung karena naskah yang dimainkan adalah cerita Mbah Tohir.
4.
Improvisasi
yang sangat tampak sudah terbiasa dilakukan oleh Mbah Tohir juga sangat terasa
oleh penulis sebagai penonton, karena memang besik atau dasar kreatifitas
keaktoran Mbah Tohir juga berangkat dari teater tradisi, Ludruk dan Sri Mulat.
5.
Cerita
yang di pentaskan Mbah Tohir, ternyata dalam keseharian menjadi bahan ceritanya
untuk berdialog dengan khalayak yang bergelut dalam seni peran dan teater.
Sehingga wajar jika yang dimainkan oleh
Mbah Tohir adalah perwakilan pengalaman dirinya yang ingin di sharingkan kepada penonton.
Tinjauan penilaian peran di atas, berdasarkan dari sumber
buku yang ditulis oleh Wahyu Sulaiman dengan judul Seni Drama.[ix]
IV. KESIMPULAN
Setiap usaha yang dilakukan dengan sungguh-sungguh dan
dengan mengerahkan kecerdasan yang maksimal serta di iringi dengan ketekunan yang sabar, tentu
akan mendapatkan hasil yang maksimal. Segala kesuksesan tidak bisa di nilai
dengan finansial karena kesuksesan sangat relatif sifatnya. Kesuksesan hanya
bisa dirasakan oleh setiap individu yang mengalami dan merasakan manfaatnya.
Begitu jugalah yang dapat di lihat dari Mbah Tohir dengan proses yang
dijalaninya selama ini.
Jika sebagian
masyarakat melihat kehidupan Mbah Tohir degan petualangannya, maka tentu saja
akan timbul rasa simpati dan empati akan rasa kasih yang normatif, karena
melihatnya dari sisi usia muda kepada yang tua. Namun Mbah Tohir adalah sosok
yang tidak mau di kasihani. Melainkan Mbah Tohir akan tetap tegar berjalan
sesuai dengan keinginan hatinya, hingga pada akhirnya apresiasi akan datang
dengan sendirinya. Mbah Tohir bagaikan tidak memperdulikan perasaan orang-orang
yang mengasihaninya karena Ia tidak ingin dikasihani dengan usia yang dibatasi
dengan angka-angka. Aku adalah aktor dan sekarang aku sedang berperan dalam
kehidupan ku dan aku harus menjalani peran ku katanya, bagi seorang aktor
menganggap bahwa kehidupan ini adalah panggung, dan seorang aktor harus menyatu
sebagai suatu kesatuan di atas panggung.[x]
Foto 7. Penyerahan penghargaan yang diberikan oleh Ketua Jurursan Teater ISI Yogyakarta kepada Mbah
Tohir, sebagai bentuk apresiasi karena masih konsisten berteater. (oleh Agnes; 20-09-2012).
Hidup adalah perjuangan, bukan
untuk dikeluhkan apalagi tenggelam larut dalam romantisme masa lalu. Hari ini
dan hari esok adalah kenyataan yang harus
dihadapi, inilah salah satu yang dapat penulis simpan dalam pengalaman
batin penulis sebagai salah satu uraian kesimpulan. Tentu saja sangat banyak
pengalaman maupun pengetahuan yang dapat penulis ambil dari cerita Mbah Tohir tentang
pengalaman hidupnya seperti hasrat dan naluri pengalaman tentang cinta, butuh
perhatian dari orang-orang terdekat, hiforia proses masa muda yang ingin
menjelajahi dan mencoba berbagai macam pengalaman, namun tiba saatnya
manusiapun dituntut untuk menetukan pilihannya.
Setiap
benda yang ada akan tetap ada selamanya,wujud segala yang ada itu sendiri
merupakan keabadiannya. Tetapi tanpa kesadaran itu yang menjadi pengetahuan
makhluk yang sempurna, manusia tidak akan pernah tahu, apakah yang ada itu ada
atau tidak. Jika eksistensi abadi diubah, maka dia harus menjadi lebih indah,
dan apabila lenyap dia harus kembali dalam citra yang luhur. Jika dia tidur dia
harus memimpikan saat bangun yang lebih baik.[xi]
Foto 7.
Penyerahan penghargaan yang diberikan oleh Ketua Jurursan Teater ISI Yogyakarta
kepada Mbah Tohir, sebagai bentuk apresiasi karena masih konsisten berteater.
(oleh Agnes; 20-09-2012).
Tetap tersenyum, karena suka dan duka adalah bagian peran yang dipercayakan
oleh Sang Sutradara alam untuk di jalani dengan penuh kesabaran. Selalu tetap
di jalan kebenaran karena siapa yang menanam, maka dialah yang pantas menuai
hasil. Terimakasih untuk ilmu dan pengetahuan dan terimakasih buat Mbah Tohir
yang telah berbagi pengalaman, juga terimakasih buat Bapak Dosen Suwarno yang
telah membukakan ruang dalam penilaian kritis ini. Semoga rasa akan selalu
bersemayam pada jiwa yang halus akan budi pekerti karena kekerasan ada batasnya
dan kelembutan tidak ada batasnya, sekali berarti sudah itu mati.
VI. LAMPIRAN
Salah satu dokumentasi tentang Mbah Tohir yang di tulis
di koran Suara Merdeka.
KEPUSTAKAAN
[i]
Berdasarkan
wawancara langsung pukul 10.00 pagi-pukul 12.00, pada tanggal 30 Desember di
Kampus Unesa Surabaya.
[iii] Stanislavsky, konstantin. (2006). My Life In Art. Diterjemahkan oleh Max Arifin.(1st ed., p. 1).
Malang.
[iv]
Arifin. C. Noor. Naskah Kapai-kapai. Jakarta.
[vi]
Chairil, Anwar. (1996). Aku Ini Binatang Jalang. (7st. Ed., p.5). Jakarta.
[vii] Soedarso. SP. (2006).
Trilogi Seni Penciptaan Eksistensi
Dan Kegunaan Seni. (1st. ed., p. 50). BPS ISI. Yogyakarta.
[viii] Gibran, Kahlil. (199). Panggung Fana, naskah-naskah Karya
Gibran (1st. Ed,. P.78). Yogyakarta.
[x] Japi Tambajong.
(1981). Dasar-Dasar Drama Turgi, Drama
Sebagai Sastra, Drama Sebagai Seni, Aktor, Sutradara, Estetik, Kritik, Penonton.
(1st. Ed., p.89). Bandung.
Komentar
Posting Komentar